On
1/31/2011 03:28:00 AM
by
Khairul Jasmi
in
Wasit Garis
No comments
Jumat siang saya mengambil nomor antre di Bank Nagari — nama baru dari BPD Sumbar — untuk menyetorkan uang. Kalau tak mengambil, tentulah menyetor, kalau ngapain mengambil nomor antre.
Saya mendapat nomor A 470-an, kalau tak salah 476, sedang yang dipanggil baru pada 420-an menuju 430.
Kalau saya tunggu, maka dua kali menanak nasi sudah masak, nomor saya belum juga akan dipanggil, maka balik kananlah saya. Sekanjutnya saya tulis naskah ini dalam keadaan tergesa-gesa, sebab redaktur edisi Minggu sudah masam mukanya, rubrik Wasit Garis belum juga ada.
Saya agak kesal namun bangga, karena bank milik Sumatra Barat ramainya bukan main. Kalau bank sepi, menurut saya, itu pertanda ekonomi lesu, kalau ramai, bagus. Bisa saja pendapat saya ini salah.
Sudah lama saya tak takut-takut masuk bank. Namun jarang saya datang ke bank, karena tak ada urusan. Kalau mengambil uang cukup dengan ATM. Saya pernah lama berada di bank, saat mengurus kredit rumah. Saya memilih Bank Nagari, karena menurut saya, urusannya tidak ribet. Mungkin karena beberapa petinggi bank itu saya kenal dan dia mengenal saya.
Tapi bank manapun, selalu saja menjadi bagian penting dalam perjalanan sejarah ekonomi bangsa, terutama sejarah uang. Uang kertas yang kalau kita lipat sebanyak 4.000 kali akan robek itu, diluncurkan oleh bank.
Uang lecet, uang necis, bisa diambil di teller . Di bank manapun, meja teller saya lihat tak pernah penuh terisi. Jika tak kosong satu, kosong dua. Jika tak dua, bisa tiga. Tak tahulah kenapa bisa begitu. Di BPD juga demikian. Biasanya petugas di meja khusus itu cantik-cantik dan gagah-gagah, ada papan nama di depannya, untuk melancarkan komunikasi. Biasanya nama kecil. Kemudian ada permen yang diletakkan di sana, untuk diambil oleh nasabah.
Namun, saya tak sempat mencicipi permen itu, karena antre yang panjang. Saya lihat nasabah menunggu dengan sabar, nyaman dan duduk dengan santai. Mungkin mereka akan stor atau mengambil uang untuk sebuah keperluan.
Saya berharap, banyak bank di Padang akan penuh dengan antre. Saya berharap pula, agar meja-meja kosong itu bisa diisi, jam istirahat sekalipun. Sebab jam istirahat itulah orang ramai datang. Kalau saat orang ramai, awak istirahat pula, itu namanya podo.
Saya hirup kopi di meja kerja saya. Terasa denyutnya. Teringat saya harga segelas kopi. Yang saya nikmati sekarang tidak gratis, tapi dibeli dengan uang oleh Harian Singgalang.
Tidak ada yang gratis sekarang dan orang bank tahu benar hal itu.
Uang memiliki sejarahnya sendiri, seperti juga bank. *
Saya mendapat nomor A 470-an, kalau tak salah 476, sedang yang dipanggil baru pada 420-an menuju 430.
Kalau saya tunggu, maka dua kali menanak nasi sudah masak, nomor saya belum juga akan dipanggil, maka balik kananlah saya. Sekanjutnya saya tulis naskah ini dalam keadaan tergesa-gesa, sebab redaktur edisi Minggu sudah masam mukanya, rubrik Wasit Garis belum juga ada.
Saya agak kesal namun bangga, karena bank milik Sumatra Barat ramainya bukan main. Kalau bank sepi, menurut saya, itu pertanda ekonomi lesu, kalau ramai, bagus. Bisa saja pendapat saya ini salah.
Sudah lama saya tak takut-takut masuk bank. Namun jarang saya datang ke bank, karena tak ada urusan. Kalau mengambil uang cukup dengan ATM. Saya pernah lama berada di bank, saat mengurus kredit rumah. Saya memilih Bank Nagari, karena menurut saya, urusannya tidak ribet. Mungkin karena beberapa petinggi bank itu saya kenal dan dia mengenal saya.
Tapi bank manapun, selalu saja menjadi bagian penting dalam perjalanan sejarah ekonomi bangsa, terutama sejarah uang. Uang kertas yang kalau kita lipat sebanyak 4.000 kali akan robek itu, diluncurkan oleh bank.
Uang lecet, uang necis, bisa diambil di teller . Di bank manapun, meja teller saya lihat tak pernah penuh terisi. Jika tak kosong satu, kosong dua. Jika tak dua, bisa tiga. Tak tahulah kenapa bisa begitu. Di BPD juga demikian. Biasanya petugas di meja khusus itu cantik-cantik dan gagah-gagah, ada papan nama di depannya, untuk melancarkan komunikasi. Biasanya nama kecil. Kemudian ada permen yang diletakkan di sana, untuk diambil oleh nasabah.
Namun, saya tak sempat mencicipi permen itu, karena antre yang panjang. Saya lihat nasabah menunggu dengan sabar, nyaman dan duduk dengan santai. Mungkin mereka akan stor atau mengambil uang untuk sebuah keperluan.
Saya berharap, banyak bank di Padang akan penuh dengan antre. Saya berharap pula, agar meja-meja kosong itu bisa diisi, jam istirahat sekalipun. Sebab jam istirahat itulah orang ramai datang. Kalau saat orang ramai, awak istirahat pula, itu namanya podo.
Saya hirup kopi di meja kerja saya. Terasa denyutnya. Teringat saya harga segelas kopi. Yang saya nikmati sekarang tidak gratis, tapi dibeli dengan uang oleh Harian Singgalang.
Tidak ada yang gratis sekarang dan orang bank tahu benar hal itu.
Uang memiliki sejarahnya sendiri, seperti juga bank. *
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Search
Popular Posts
-
Ini bukan untuk gagah-gagahan, tapi mencoba berkontribusi lebih banyak lagi bagi kepentingan umum. Apa itu? Forum Editor! Forum Editor a...
-
Khairul Jasmi Di Padang saat ini banyak benar jalan berlobang. Jika tak berlobang, aspalnya terkelupas. Kondisi jalan yang buruk menyebabk...
-
Saya naik pesawat Susi Air dari Simpang Empat ke BIM, begitu mendarat saya sudah ketinggalan siaran langsung pengumuman kabinet oleh Preside...
-
Di pinggang malam, karum jam naik, kami turun ke ruang pracetak. Di dada malam, mesin bergemuruh mencetak huruf demi huruf. Di rumahnya, re...
-
Besi tua, jejak sejarah, eksotik, unik, pabrik indah : indarung 1 Fotografer by : Yosfiandri
-
Ini lagu Minang, “Dikijoknyo Den,” lalu oleh Upiak Isil didendangkan dalam bahasa Indonesia, maka jadilah lagu itu, “Dikedipnya Aku.” Lagu ...
-
Di sebuah rumah minimalis, tinggal sebuah keluarga kecil. Papa, mama dan tiga anak. Anak-anaknya diajari berbahasa Indonesia sejak kecil. Di...
-
Forum pemred indonesia bersama menkeu Sri Mulyani. Saya menyampaikan Tax pasar semen yang mesti digejot, pestisida yang mahal karena impor, ...
-
Ini malam bainai, dipahat sambil main pedang. dari Batam terus ke Dumai, melihat Semen Padang.
Recent Posts
Categories
- Berita ( 2 )
- Jalan-jalan ( 5 )
- Komentar ( 33 )
- Opini ( 20 )
- Tulisan ( 21 )
- Wasit Garis ( 112 )
Sample Text
Blog Archive
-
▼
2011
(
95
)
-
▼
Januari
(
69
)
- Payakumbuh
- Tamara Geraldine
- Telepon Genggam
- SMA 1 Padang
- Jakarta
- Permen
- Masakan Padang
- Merdeka
- Bahasa Minang Indonesia II
- Meja Makan
- Maling
- Makan Siang
- Kelulusan dan Pelepasan
- Negeri Lucu, Negeri Selingkuh
- Melirik
- Entah Luna Maya
- Mari Berdendang
- Kursi Nomor 1
- Takbir
- Kunci Rumah
- Korek Api
- Secangkir Kopi
- Koin Cinta
- King
- Bunker Kiamat
- Bisnis Restoran
- Pendidikan Karakter
- Was-was
- Jujai
- Jengkol
- Jam Gadang
- Jalan Berlobang
- Jakarta
- Hati yang Gembira
- Sit Ball
- Ikan Padang
- Ide
- Masakan Ibu
- Ulangtahun
- Hujan sekarang agak pamberang dibanding hujan saat...
- Pemilihan Gubernur
- Gusi Mobil
- Gubernur
- Calon Gubernur
- Recovery Pascagempa
- Gelap
- Gampo
- Aera Eropa
- Diniyyah Putri
- Cinta
- Cerita Pendek
- Cerai Politik
- Caleg ATM
- Berbunga-bunga
- Bom
- Novel Asrama Bidadari
- Berita Kecil
- Di Rumah, Tidur, Sendiri
- Bambu Illegal Logging
- Bahasa Minang Indonesia
- Awan dan Langit
- Avanza
- Antre di Bank
- Antasari Azhar
- Anggi
- Lembah Anai
- Politik Rasionalitas
- 100 Hari Pascagempa
- Sinisme Politik
-
▼
Januari
(
69
)
0 komentar :
Posting Komentar