On
1/31/2011 03:53:00 AM
by
Khairul Jasmi
in
Wasit Garis
No comments
Mengeras Dia
Percakapan dua orang di sebuah kedai kopi:
“Mengeras pula dia pada saya,” kata seorang lelaki.
“Lampang saja pangkal turiknya itu, biar tahu rasa dia,” jawab temannnya.
“Kalau naik juga bahunya setelah ini, hampai saja, nak mencoba saya pula dia saya lihat”
“Iya, jangan awak pula yang digeregaknya.”
“Kemarin itu, sambal goreng bini saya dihampainya, licin landas sambal di bawah songkong dia sungkahkan. Adat bertetangga, tolong-menolong, tapi dia lain pula orangnya.
“Sudah sejak dulu dia seperti itu. Tak bisa diajari lagi. Sebenarnya dulu sudah saya bilang sama kamu, kamu saja yang tak percaya. Kini, coba benarlah, sudah mengeras pula dia sama kamu. Membesarkan anak ular saja kamu saya lihat.”
“Karena saya tak mau bertengkar saja, anak sudah besar-besar, bagaimana pula bentuknya bertengkar di depan anak.”
“Ya tapi, tak mau itu, lunak benar sama orang.”
“Lunak bagaimana pula, saya tak bisa ditawar-tawar,”
“Tumah contohnya, berselisih kamu dengan dia di jalan tak disapanya,”
“Tak perlulah saya disapa-sapa di jalan, tak ada untungnya bagi saya.”
“Kamu karengkang pula. Tak boleh begitu, hidup ini ya, kita harus pandai membawakan diri.”
“Saya muak dengan orang banyak cik minyak seperti dia, hambar pusat saya dibuatnya”
“Tak masak yang ditanak kalau begini terus, panggil dia bicara empat mata”
“Itu benar yang tidak bagi saya”
“Kau dan dia sama saja, tetap saja kusut takkan selesai tampaknya oleh saya kalau begini”
“Kusut sarang tempua saja sekalian, biar api yang menjelesaikan.”
“Oh begitu caramu, kamu kan ninik mamak di kampung, meski sekarang tinggal di Padang”
“ Tak membesarkan air gelar adat itu bagi saya.”
“Ohh sudah tergadai kapak buruk rupanya.”
Keduanya terkekeh, lalu meneguk kopinya.
“Minta rokok sebatang,” kata yang seorang. Tanpa menunggu jawabannya tanggapnya sudah menjambo saja, diambilnya kotak rokok dan diambilnya pula sebatang rokok.
“Menurut saya, kalau ada silang sengketa antara kita bertetangga, selesaikan saja dengan baik, segan awak sama orang.”
“Tapi dia sudah mengeras-ngeras pada saya, dikacaknya lengannya, saya tahu sudut dapur orangtuanya di kampung, melagak pula dia sama saya,”
“Ya itulah tugasmu sebagai yang lebih tua menasihatinya.”
“Nasihat ke nasihat juga lagi, dia tak bisa dibentuk lagi, sudah lain kiblatnya sejak dapat kerja ini.”
“Mungkin dia sibuk atau banyak yang dipikirkannya”
“Jangan pulalah saya dilagak dengan kerja-kerja itu, sudah banyak makan asam garam saya. Saya kerja apa saja sudah dikacak, tukang tembok, tukang kayu, menggali jalan, menjual baju di kaki lima, bekerja di toko, jadi sopir oto, jadi loper, kemarin ini memborong kecil-kecil pula saya. Kini saja yang hidup saya terasa sempit, APBD belum cair kabarnya.”
“He he he he APBD pula katamu, bantuan gempa sudah terima belum?”
“Itulah, pusing saya, bini saya memberungut saja sekarang, rumah saya belum juga dipelok, pasir dan semen tinggi harganya.”
“Masalahmu itu rupanya, sehingga berang-berang saja sejak tadi.”
“Ya, bagaimana lagi, pinjamilah saya dulu agak tiga emas, nanti kalau APBD cair, langsung saya bayar.”
“Emas berapa sekarang?”
“Tak tahu saya”
“Jual saja cincin binimu itu, adat berumahtanggalah namanya, mau dia itu.”
“Dibelakanginyalah saya, kalimbari sudah saya jual subangnya, merentak tajan dia.”
Temannya tersenyum-senyum saja.
“Matilah ang,” katanya sambil bergegas pergi. *
Percakapan dua orang di sebuah kedai kopi:
“Mengeras pula dia pada saya,” kata seorang lelaki.
“Lampang saja pangkal turiknya itu, biar tahu rasa dia,” jawab temannnya.
“Kalau naik juga bahunya setelah ini, hampai saja, nak mencoba saya pula dia saya lihat”
“Iya, jangan awak pula yang digeregaknya.”
“Kemarin itu, sambal goreng bini saya dihampainya, licin landas sambal di bawah songkong dia sungkahkan. Adat bertetangga, tolong-menolong, tapi dia lain pula orangnya.
“Sudah sejak dulu dia seperti itu. Tak bisa diajari lagi. Sebenarnya dulu sudah saya bilang sama kamu, kamu saja yang tak percaya. Kini, coba benarlah, sudah mengeras pula dia sama kamu. Membesarkan anak ular saja kamu saya lihat.”
“Karena saya tak mau bertengkar saja, anak sudah besar-besar, bagaimana pula bentuknya bertengkar di depan anak.”
“Ya tapi, tak mau itu, lunak benar sama orang.”
“Lunak bagaimana pula, saya tak bisa ditawar-tawar,”
“Tumah contohnya, berselisih kamu dengan dia di jalan tak disapanya,”
“Tak perlulah saya disapa-sapa di jalan, tak ada untungnya bagi saya.”
“Kamu karengkang pula. Tak boleh begitu, hidup ini ya, kita harus pandai membawakan diri.”
“Saya muak dengan orang banyak cik minyak seperti dia, hambar pusat saya dibuatnya”
“Tak masak yang ditanak kalau begini terus, panggil dia bicara empat mata”
“Itu benar yang tidak bagi saya”
“Kau dan dia sama saja, tetap saja kusut takkan selesai tampaknya oleh saya kalau begini”
“Kusut sarang tempua saja sekalian, biar api yang menjelesaikan.”
“Oh begitu caramu, kamu kan ninik mamak di kampung, meski sekarang tinggal di Padang”
“ Tak membesarkan air gelar adat itu bagi saya.”
“Ohh sudah tergadai kapak buruk rupanya.”
Keduanya terkekeh, lalu meneguk kopinya.
“Minta rokok sebatang,” kata yang seorang. Tanpa menunggu jawabannya tanggapnya sudah menjambo saja, diambilnya kotak rokok dan diambilnya pula sebatang rokok.
“Menurut saya, kalau ada silang sengketa antara kita bertetangga, selesaikan saja dengan baik, segan awak sama orang.”
“Tapi dia sudah mengeras-ngeras pada saya, dikacaknya lengannya, saya tahu sudut dapur orangtuanya di kampung, melagak pula dia sama saya,”
“Ya itulah tugasmu sebagai yang lebih tua menasihatinya.”
“Nasihat ke nasihat juga lagi, dia tak bisa dibentuk lagi, sudah lain kiblatnya sejak dapat kerja ini.”
“Mungkin dia sibuk atau banyak yang dipikirkannya”
“Jangan pulalah saya dilagak dengan kerja-kerja itu, sudah banyak makan asam garam saya. Saya kerja apa saja sudah dikacak, tukang tembok, tukang kayu, menggali jalan, menjual baju di kaki lima, bekerja di toko, jadi sopir oto, jadi loper, kemarin ini memborong kecil-kecil pula saya. Kini saja yang hidup saya terasa sempit, APBD belum cair kabarnya.”
“He he he he APBD pula katamu, bantuan gempa sudah terima belum?”
“Itulah, pusing saya, bini saya memberungut saja sekarang, rumah saya belum juga dipelok, pasir dan semen tinggi harganya.”
“Masalahmu itu rupanya, sehingga berang-berang saja sejak tadi.”
“Ya, bagaimana lagi, pinjamilah saya dulu agak tiga emas, nanti kalau APBD cair, langsung saya bayar.”
“Emas berapa sekarang?”
“Tak tahu saya”
“Jual saja cincin binimu itu, adat berumahtanggalah namanya, mau dia itu.”
“Dibelakanginyalah saya, kalimbari sudah saya jual subangnya, merentak tajan dia.”
Temannya tersenyum-senyum saja.
“Matilah ang,” katanya sambil bergegas pergi. *
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Search
Popular Posts
-
Ini bukan untuk gagah-gagahan, tapi mencoba berkontribusi lebih banyak lagi bagi kepentingan umum. Apa itu? Forum Editor! Forum Editor a...
-
Khairul Jasmi Di Padang saat ini banyak benar jalan berlobang. Jika tak berlobang, aspalnya terkelupas. Kondisi jalan yang buruk menyebabk...
-
Saya naik pesawat Susi Air dari Simpang Empat ke BIM, begitu mendarat saya sudah ketinggalan siaran langsung pengumuman kabinet oleh Preside...
-
Di pinggang malam, karum jam naik, kami turun ke ruang pracetak. Di dada malam, mesin bergemuruh mencetak huruf demi huruf. Di rumahnya, re...
-
Besi tua, jejak sejarah, eksotik, unik, pabrik indah : indarung 1 Fotografer by : Yosfiandri
-
Ini lagu Minang, “Dikijoknyo Den,” lalu oleh Upiak Isil didendangkan dalam bahasa Indonesia, maka jadilah lagu itu, “Dikedipnya Aku.” Lagu ...
-
Di sebuah rumah minimalis, tinggal sebuah keluarga kecil. Papa, mama dan tiga anak. Anak-anaknya diajari berbahasa Indonesia sejak kecil. Di...
-
Forum pemred indonesia bersama menkeu Sri Mulyani. Saya menyampaikan Tax pasar semen yang mesti digejot, pestisida yang mahal karena impor, ...
-
Ini malam bainai, dipahat sambil main pedang. dari Batam terus ke Dumai, melihat Semen Padang.
Recent Posts
Categories
- Berita ( 2 )
- Jalan-jalan ( 5 )
- Komentar ( 33 )
- Opini ( 20 )
- Tulisan ( 21 )
- Wasit Garis ( 112 )
Sample Text
Blog Archive
-
▼
2011
(
95
)
-
▼
Januari
(
69
)
- Payakumbuh
- Tamara Geraldine
- Telepon Genggam
- SMA 1 Padang
- Jakarta
- Permen
- Masakan Padang
- Merdeka
- Bahasa Minang Indonesia II
- Meja Makan
- Maling
- Makan Siang
- Kelulusan dan Pelepasan
- Negeri Lucu, Negeri Selingkuh
- Melirik
- Entah Luna Maya
- Mari Berdendang
- Kursi Nomor 1
- Takbir
- Kunci Rumah
- Korek Api
- Secangkir Kopi
- Koin Cinta
- King
- Bunker Kiamat
- Bisnis Restoran
- Pendidikan Karakter
- Was-was
- Jujai
- Jengkol
- Jam Gadang
- Jalan Berlobang
- Jakarta
- Hati yang Gembira
- Sit Ball
- Ikan Padang
- Ide
- Masakan Ibu
- Ulangtahun
- Hujan sekarang agak pamberang dibanding hujan saat...
- Pemilihan Gubernur
- Gusi Mobil
- Gubernur
- Calon Gubernur
- Recovery Pascagempa
- Gelap
- Gampo
- Aera Eropa
- Diniyyah Putri
- Cinta
- Cerita Pendek
- Cerai Politik
- Caleg ATM
- Berbunga-bunga
- Bom
- Novel Asrama Bidadari
- Berita Kecil
- Di Rumah, Tidur, Sendiri
- Bambu Illegal Logging
- Bahasa Minang Indonesia
- Awan dan Langit
- Avanza
- Antre di Bank
- Antasari Azhar
- Anggi
- Lembah Anai
- Politik Rasionalitas
- 100 Hari Pascagempa
- Sinisme Politik
-
▼
Januari
(
69
)
0 komentar :
Posting Komentar