On
1/31/2011 03:41:00 AM
by
Khairul Jasmi
in
Wasit Garis
No comments
Oleh Khairul Jasmi
Saya berniat memancing belut ke sawah, nyatanya pekan lalu saya terbang ke Jakarta. Makanya, (doeloe) kata Umi saya, jangan memastikan rencana-rencana, sebab segalanya diputuskan Tuhan.
Ke Jakarta saya bukan memancing belut, tapi diajak teman.
Kebetulan Jakarta baru saja dilanyau banjir. Saya melihat, begitu hujan turun, orang-orang di ibukota itu, ketakutan, lebih takut dari warga Padang bila hujan turun. Mereka bergegas memacu kendaraan masing-masing. Karena Sabtu dan Minggu, jalanan di Jakarta agak sepi.
Jakarta, adalah kota yang tua, kampung besar yang memikul beban berat. Beradik kakak dengan Padang luasnya, yaitu 740 Km2. Penduduknya saat ini sekitar 10 juta. Tapi memandang Jakarta, tidak bisa dipisahkan dari Jabotabek. Penduduk Jabotabek sekitar 23 juta. Itulah metropolitan keenam terbesar di dunia. Jika diintegrasikan lagi dengan Bandung Raya, disebut megapolis. Jumlah penduduknya menjadi 30 juta, nomor dua terbesar di dunia setelah megapolis Tokyo.
Jakarta dilintasi 11 sungai. Seperti juga di Padang, Jakarta juga memiliki banjir kanal, yaitu (saya ambil dari wikipedia) Banjir Kanal Timur dan Banjir Kanal Barat. Banjir Kanal Timur mengalihkan air dari Ciliwung ke arah timur, melalui daerah Pondok Bambu, Pondok Kopi, Cakung, sampai Cilincing. Sedangkan Banjir Kanal Barat yang telah dibangun sejak zaman kolonial Belanda, mengaliri air melalui Karet, Tanahabang, sampai Angke. Selain itu Jakarta juga memiliki dua drainase, yaitu Cakung Drain dan Cengkareng Drain.
Sebenarnya kota ini tiap hari menerima kiriman banjir persoalan dari seluruh Indonesia. Banjir uang, banjir masalah, banjir penyakit, banjir peselingkuh, banjir pengangguran, banjir PKL, banjir pemalak, banjir wisatawan, banjir sastrawan, banjir politik dan entah apalagi.
Kota kita dan Jakarta terpaut jauh. Kalau hendak ke sana, terpaksa kita melangkaui hutan belantara dulu atau menyeberangi laut luas atau terbang di awang-awang. Maksudnya naik pesawat. Jauh sekali.
Ibukota yang jauh bisa mengurangi ikatan emosional. Ibukota yang jauh memakan biaya tinggi. Ibukota yang jauh, biasanya sombong pada kita yang di daerah. Terbang ke Jakarta 90 menit, terbang ke Kuala Lumpur 70 menit.
Jakarta, seperti juga Padang, didomonasi wajah-wajah melayu. Sedikit mata sipit, Asia Selatan, Timur Tengah, Asia Timur, bule dan kulit hitam. Orang bercakap-cakap dalam Bahasa Indonesia, juga bahasa mereka masing-masing.
Mereka semua bercakap-cakap, seperti juga kita. Kemanakah perginya kata-kata yang baru saja kita ucapkan? Semua kata-kata itu, konon berkumpul di langit. Kata-kata yang sama membentuk kelompoknya sendiri-sendiri. Membuat persatuannya. Jika diucapkan dalam bahasa yang berbeda, kemudian ditafsirkan dan setelah itu mereka mengelompok sesuai makna. Di langit, bukan Bahasa Inggris yang dipakai, tapi bahasa langit.
Bahasa orang-orang di Jakarta ternyata lebih menarik, karena banyak yang pendek-pendek dan diucapkan dengan nada mendesak. Semisal ‘ah, aduh, ampun, anjing, emak lo, brengsek, punten, permisi, terimasih, korupsi, caleg, demo, PHK, banjir, hujan, gak gajian, harga, kiri, minggir, terik, pesing, busuk, becek, ojek’ dan lainnya.
Di Jakarta telah terjadi polusi kata-kata setelah polusi udara dan polusi cahaya.
Itulah nasib kota yang tua dan rentan. Kota dimana banjir telah jadi lagu dan kesumpeken menjadi buah mimpi. Dan mimpi orang Jakarta berbeda-beda, tergantung kasurnya.
Pada dasarnya kota itu telah jadi contoh yang amat komplit dari kehidupan manusia di dunia. Pekan lalu, saya kembali berada di sana, mematut-matut wajahnya. Kali ini saya tak menjumpai teman dari Padang di mall.
Saya sendiri masuk ke pasar-pasar murah, masuk ke mall, naik ojek, naik bajaj, naik taksi, naik mobil pribadi, maka di hotel berbintang, makan berebut dan berkeringat dengan orang-orang di tepi jalan.
Saya ambil saja kesimpulan sendiri, orang Jakarta menyimpan masalah di wajahnya. Masalah masing-masing. Juga masalah bersama, banjir dan kemacetan. Umur mereka habis di jalan. Waktu mereka terbuang sia-sia. Tapi banyak dari mereka yang banyak uang bahkan sangat banyak uang. Tapi teramat banyak yang papa.
Inilah ibukota, Jakarta dari negara yang bernama Indonesia. Sebuah negara yang perhubungannya amat sulit. Kota provinsi yang satu dan lainnya, hampir semua harus dijelang dengan naik pesawat. Taragak benar kita hendak ke Pontianak, harus naik pesawat dua kali. Ke Jakarta dulu, baru terbang ke Pontianak. Perjalanan di negara ini, adalah uang keluar yang banyak.
Karena jarak yang jauh dan harus memakai pesawat itulah, antara lain, kenapa wisata kita tak maju-maju. Jika maju, tidak serentak.
Jakarta telah mendengkur. Hujan turun, tempiasnya menepuk-nepuk kaca kamar hotel saya di lantai tujuh. Kemanakah kata-kata yang tadi siang bersimpang-siur. Dimanakah rekamannya?
Di langit. Karena itu, jangan sembarang mangecek saja, semua ada rekamannya. Nanti, semua akan diperdengarkan pada kita. Yang suka mengicua, rasailah!*
Saya berniat memancing belut ke sawah, nyatanya pekan lalu saya terbang ke Jakarta. Makanya, (doeloe) kata Umi saya, jangan memastikan rencana-rencana, sebab segalanya diputuskan Tuhan.
Ke Jakarta saya bukan memancing belut, tapi diajak teman.
Kebetulan Jakarta baru saja dilanyau banjir. Saya melihat, begitu hujan turun, orang-orang di ibukota itu, ketakutan, lebih takut dari warga Padang bila hujan turun. Mereka bergegas memacu kendaraan masing-masing. Karena Sabtu dan Minggu, jalanan di Jakarta agak sepi.
Jakarta, adalah kota yang tua, kampung besar yang memikul beban berat. Beradik kakak dengan Padang luasnya, yaitu 740 Km2. Penduduknya saat ini sekitar 10 juta. Tapi memandang Jakarta, tidak bisa dipisahkan dari Jabotabek. Penduduk Jabotabek sekitar 23 juta. Itulah metropolitan keenam terbesar di dunia. Jika diintegrasikan lagi dengan Bandung Raya, disebut megapolis. Jumlah penduduknya menjadi 30 juta, nomor dua terbesar di dunia setelah megapolis Tokyo.
Jakarta dilintasi 11 sungai. Seperti juga di Padang, Jakarta juga memiliki banjir kanal, yaitu (saya ambil dari wikipedia) Banjir Kanal Timur dan Banjir Kanal Barat. Banjir Kanal Timur mengalihkan air dari Ciliwung ke arah timur, melalui daerah Pondok Bambu, Pondok Kopi, Cakung, sampai Cilincing. Sedangkan Banjir Kanal Barat yang telah dibangun sejak zaman kolonial Belanda, mengaliri air melalui Karet, Tanahabang, sampai Angke. Selain itu Jakarta juga memiliki dua drainase, yaitu Cakung Drain dan Cengkareng Drain.
Sebenarnya kota ini tiap hari menerima kiriman banjir persoalan dari seluruh Indonesia. Banjir uang, banjir masalah, banjir penyakit, banjir peselingkuh, banjir pengangguran, banjir PKL, banjir pemalak, banjir wisatawan, banjir sastrawan, banjir politik dan entah apalagi.
Kota kita dan Jakarta terpaut jauh. Kalau hendak ke sana, terpaksa kita melangkaui hutan belantara dulu atau menyeberangi laut luas atau terbang di awang-awang. Maksudnya naik pesawat. Jauh sekali.
Ibukota yang jauh bisa mengurangi ikatan emosional. Ibukota yang jauh memakan biaya tinggi. Ibukota yang jauh, biasanya sombong pada kita yang di daerah. Terbang ke Jakarta 90 menit, terbang ke Kuala Lumpur 70 menit.
Jakarta, seperti juga Padang, didomonasi wajah-wajah melayu. Sedikit mata sipit, Asia Selatan, Timur Tengah, Asia Timur, bule dan kulit hitam. Orang bercakap-cakap dalam Bahasa Indonesia, juga bahasa mereka masing-masing.
Mereka semua bercakap-cakap, seperti juga kita. Kemanakah perginya kata-kata yang baru saja kita ucapkan? Semua kata-kata itu, konon berkumpul di langit. Kata-kata yang sama membentuk kelompoknya sendiri-sendiri. Membuat persatuannya. Jika diucapkan dalam bahasa yang berbeda, kemudian ditafsirkan dan setelah itu mereka mengelompok sesuai makna. Di langit, bukan Bahasa Inggris yang dipakai, tapi bahasa langit.
Bahasa orang-orang di Jakarta ternyata lebih menarik, karena banyak yang pendek-pendek dan diucapkan dengan nada mendesak. Semisal ‘ah, aduh, ampun, anjing, emak lo, brengsek, punten, permisi, terimasih, korupsi, caleg, demo, PHK, banjir, hujan, gak gajian, harga, kiri, minggir, terik, pesing, busuk, becek, ojek’ dan lainnya.
Di Jakarta telah terjadi polusi kata-kata setelah polusi udara dan polusi cahaya.
Itulah nasib kota yang tua dan rentan. Kota dimana banjir telah jadi lagu dan kesumpeken menjadi buah mimpi. Dan mimpi orang Jakarta berbeda-beda, tergantung kasurnya.
Pada dasarnya kota itu telah jadi contoh yang amat komplit dari kehidupan manusia di dunia. Pekan lalu, saya kembali berada di sana, mematut-matut wajahnya. Kali ini saya tak menjumpai teman dari Padang di mall.
Saya sendiri masuk ke pasar-pasar murah, masuk ke mall, naik ojek, naik bajaj, naik taksi, naik mobil pribadi, maka di hotel berbintang, makan berebut dan berkeringat dengan orang-orang di tepi jalan.
Saya ambil saja kesimpulan sendiri, orang Jakarta menyimpan masalah di wajahnya. Masalah masing-masing. Juga masalah bersama, banjir dan kemacetan. Umur mereka habis di jalan. Waktu mereka terbuang sia-sia. Tapi banyak dari mereka yang banyak uang bahkan sangat banyak uang. Tapi teramat banyak yang papa.
Inilah ibukota, Jakarta dari negara yang bernama Indonesia. Sebuah negara yang perhubungannya amat sulit. Kota provinsi yang satu dan lainnya, hampir semua harus dijelang dengan naik pesawat. Taragak benar kita hendak ke Pontianak, harus naik pesawat dua kali. Ke Jakarta dulu, baru terbang ke Pontianak. Perjalanan di negara ini, adalah uang keluar yang banyak.
Karena jarak yang jauh dan harus memakai pesawat itulah, antara lain, kenapa wisata kita tak maju-maju. Jika maju, tidak serentak.
Jakarta telah mendengkur. Hujan turun, tempiasnya menepuk-nepuk kaca kamar hotel saya di lantai tujuh. Kemanakah kata-kata yang tadi siang bersimpang-siur. Dimanakah rekamannya?
Di langit. Karena itu, jangan sembarang mangecek saja, semua ada rekamannya. Nanti, semua akan diperdengarkan pada kita. Yang suka mengicua, rasailah!*
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Search
Popular Posts
-
Ini bukan untuk gagah-gagahan, tapi mencoba berkontribusi lebih banyak lagi bagi kepentingan umum. Apa itu? Forum Editor! Forum Editor a...
-
Khairul Jasmi Di Padang saat ini banyak benar jalan berlobang. Jika tak berlobang, aspalnya terkelupas. Kondisi jalan yang buruk menyebabk...
-
Saya naik pesawat Susi Air dari Simpang Empat ke BIM, begitu mendarat saya sudah ketinggalan siaran langsung pengumuman kabinet oleh Preside...
-
Di pinggang malam, karum jam naik, kami turun ke ruang pracetak. Di dada malam, mesin bergemuruh mencetak huruf demi huruf. Di rumahnya, re...
-
Besi tua, jejak sejarah, eksotik, unik, pabrik indah : indarung 1 Fotografer by : Yosfiandri
-
Ini lagu Minang, “Dikijoknyo Den,” lalu oleh Upiak Isil didendangkan dalam bahasa Indonesia, maka jadilah lagu itu, “Dikedipnya Aku.” Lagu ...
-
Di sebuah rumah minimalis, tinggal sebuah keluarga kecil. Papa, mama dan tiga anak. Anak-anaknya diajari berbahasa Indonesia sejak kecil. Di...
-
Forum pemred indonesia bersama menkeu Sri Mulyani. Saya menyampaikan Tax pasar semen yang mesti digejot, pestisida yang mahal karena impor, ...
-
Ini malam bainai, dipahat sambil main pedang. dari Batam terus ke Dumai, melihat Semen Padang.
Recent Posts
Categories
- Berita ( 2 )
- Jalan-jalan ( 5 )
- Komentar ( 33 )
- Opini ( 20 )
- Tulisan ( 21 )
- Wasit Garis ( 112 )
Sample Text
Blog Archive
-
▼
2011
(
95
)
-
▼
Januari
(
69
)
- Payakumbuh
- Tamara Geraldine
- Telepon Genggam
- SMA 1 Padang
- Jakarta
- Permen
- Masakan Padang
- Merdeka
- Bahasa Minang Indonesia II
- Meja Makan
- Maling
- Makan Siang
- Kelulusan dan Pelepasan
- Negeri Lucu, Negeri Selingkuh
- Melirik
- Entah Luna Maya
- Mari Berdendang
- Kursi Nomor 1
- Takbir
- Kunci Rumah
- Korek Api
- Secangkir Kopi
- Koin Cinta
- King
- Bunker Kiamat
- Bisnis Restoran
- Pendidikan Karakter
- Was-was
- Jujai
- Jengkol
- Jam Gadang
- Jalan Berlobang
- Jakarta
- Hati yang Gembira
- Sit Ball
- Ikan Padang
- Ide
- Masakan Ibu
- Ulangtahun
- Hujan sekarang agak pamberang dibanding hujan saat...
- Pemilihan Gubernur
- Gusi Mobil
- Gubernur
- Calon Gubernur
- Recovery Pascagempa
- Gelap
- Gampo
- Aera Eropa
- Diniyyah Putri
- Cinta
- Cerita Pendek
- Cerai Politik
- Caleg ATM
- Berbunga-bunga
- Bom
- Novel Asrama Bidadari
- Berita Kecil
- Di Rumah, Tidur, Sendiri
- Bambu Illegal Logging
- Bahasa Minang Indonesia
- Awan dan Langit
- Avanza
- Antre di Bank
- Antasari Azhar
- Anggi
- Lembah Anai
- Politik Rasionalitas
- 100 Hari Pascagempa
- Sinisme Politik
-
▼
Januari
(
69
)
0 komentar :
Posting Komentar