On
1/31/2011 03:46:00 AM
by
Khairul Jasmi
in
Wasit Garis
No comments
Khairul Jasmi
Menjelang buka puasa beberapa hari lalu saya membeli novel Perahu Kertas dan buku biografi Liem Swie King. Buku pemain bulutangkis hebat itu, ditulis oleh seorang wartawan, Robert Adhi dan diterbitkan Juni 2009.
Saya belum selesai membacanya, namun, dari beberapa halaman yang sudah terbaca, diketahui, ia belajar main bulutangkis sejak kecil. Mulai bermain dengan raket kayu seperti anak-anak di desa-desa. Kemudian berlatih dengan orang-orang yang sebaya dengan ayahnya.
Membaca buku Panggil Aku King, bukan Liem Swie King yang saya bayangkan, melainkan masa kanak-kanak saya di desa dulu. Walau jauh dan tak bisa dibanding, namun saya ingat teman saya, namanya No. No, pintar sekali bermain bulutangkis. Di kampung saya, semua orang ia kalahkan. Sayang, No, umurnya pendek.
Bagi saya No, adalah teman yang hebat. Ia pintar main bola dansantiang bermain pimpong. Sayang, ia pemain alami tak pernah disentuh pembinaan dan latihan yang terjadual, sebagaimana umumnya anak-anak berbakat dari desa dulu, bahkan mungkin juga kini.
Tidak tahu dari mana bakat seperti itu disalinnya, yang diketahui, No mencengangkan kami teman sebayanya. Saya teman sekolahnya, tidak pernah sekalipun bisa mengalahkannya dalam permainan individual.
Bagi saya No, adalah teman yang hilang, ketika kami mengharapkan ia bisa mengukir prestasi. Ia meninggal dalam usia muda. Saya doakan dia.
Hari ini, di sudut rumah atau di gang perumahan atau di tanah lapang, di halaman sekolah, anak-anak bermain bulutangkis. Orang-orang dewasa bermain di lapangan indoor. Tiap saya pulang ke rumah di Kuranji sana, di sisi Jalan By Pass, Padang saya lihat ada tempat bermain bulutangkis. Orang-orang bermain hingga larut malam. Sering pula saya lihat, lelaki bercelana pendek di atas motor dengan menyandang raket. Tentu ia akan bermain bulutangkis.
Di rumah saya ada dua raket dan tentu mungkin di rumah Anda. Saya bermain bulutangkis disaat senggang di jalan depan rumah. Mengasyikan.
Kita mempererat duduk, tatkala menyaksikan pertandingan final bulutangkis anak-anak Indonesia di laga All England misalnya. Kita kepalkan tinju kalau pemain kita menang. Namun kecewa berat kalau ia kalah. Pada saat yang sama, sesungguhnya kita sedang memupuk rasa nasionalisme.
Saya kembali pada buku Liem Swie King, atau Guntur. Lelaki ini lahir di Kudus, Jawa Tengah, 28 Februari 1956. Ia menceritakan bagaimana ia menangis begitu bisa mengalahkan Rudy Hartono, teman sekaligus gurunya itu. Rudy ia kalahkan dalam final All England tahun 1976 dalam usianya yang ke-20. Ia menceritakan bagaimana peran ayahnya dan PB Djarum dalam mendidiknya menjadi pebulutangkis handal.
Kita kenal King, ia memang meminta Panggil Aku King. Kita bangga dengan King. Saya ingat teman. No. *
Menjelang buka puasa beberapa hari lalu saya membeli novel Perahu Kertas dan buku biografi Liem Swie King. Buku pemain bulutangkis hebat itu, ditulis oleh seorang wartawan, Robert Adhi dan diterbitkan Juni 2009.
Saya belum selesai membacanya, namun, dari beberapa halaman yang sudah terbaca, diketahui, ia belajar main bulutangkis sejak kecil. Mulai bermain dengan raket kayu seperti anak-anak di desa-desa. Kemudian berlatih dengan orang-orang yang sebaya dengan ayahnya.
Membaca buku Panggil Aku King, bukan Liem Swie King yang saya bayangkan, melainkan masa kanak-kanak saya di desa dulu. Walau jauh dan tak bisa dibanding, namun saya ingat teman saya, namanya No. No, pintar sekali bermain bulutangkis. Di kampung saya, semua orang ia kalahkan. Sayang, No, umurnya pendek.
Bagi saya No, adalah teman yang hebat. Ia pintar main bola dansantiang bermain pimpong. Sayang, ia pemain alami tak pernah disentuh pembinaan dan latihan yang terjadual, sebagaimana umumnya anak-anak berbakat dari desa dulu, bahkan mungkin juga kini.
Tidak tahu dari mana bakat seperti itu disalinnya, yang diketahui, No mencengangkan kami teman sebayanya. Saya teman sekolahnya, tidak pernah sekalipun bisa mengalahkannya dalam permainan individual.
Bagi saya No, adalah teman yang hilang, ketika kami mengharapkan ia bisa mengukir prestasi. Ia meninggal dalam usia muda. Saya doakan dia.
Hari ini, di sudut rumah atau di gang perumahan atau di tanah lapang, di halaman sekolah, anak-anak bermain bulutangkis. Orang-orang dewasa bermain di lapangan indoor. Tiap saya pulang ke rumah di Kuranji sana, di sisi Jalan By Pass, Padang saya lihat ada tempat bermain bulutangkis. Orang-orang bermain hingga larut malam. Sering pula saya lihat, lelaki bercelana pendek di atas motor dengan menyandang raket. Tentu ia akan bermain bulutangkis.
Di rumah saya ada dua raket dan tentu mungkin di rumah Anda. Saya bermain bulutangkis disaat senggang di jalan depan rumah. Mengasyikan.
Kita mempererat duduk, tatkala menyaksikan pertandingan final bulutangkis anak-anak Indonesia di laga All England misalnya. Kita kepalkan tinju kalau pemain kita menang. Namun kecewa berat kalau ia kalah. Pada saat yang sama, sesungguhnya kita sedang memupuk rasa nasionalisme.
Saya kembali pada buku Liem Swie King, atau Guntur. Lelaki ini lahir di Kudus, Jawa Tengah, 28 Februari 1956. Ia menceritakan bagaimana ia menangis begitu bisa mengalahkan Rudy Hartono, teman sekaligus gurunya itu. Rudy ia kalahkan dalam final All England tahun 1976 dalam usianya yang ke-20. Ia menceritakan bagaimana peran ayahnya dan PB Djarum dalam mendidiknya menjadi pebulutangkis handal.
Kita kenal King, ia memang meminta Panggil Aku King. Kita bangga dengan King. Saya ingat teman. No. *
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Search
Popular Posts
-
Di pinggang malam, karum jam naik, kami turun ke ruang pracetak. Di dada malam, mesin bergemuruh mencetak huruf demi huruf. Di rumahnya, re...
-
HAWAII – Saya di Honolulu, Hawaii sekarang. Sejak berangkat Senin (6/4) sudah dilewati siang dan malam, sesampai di sini malah masih Senin...
-
Ini bukan untuk gagah-gagahan, tapi mencoba berkontribusi lebih banyak lagi bagi kepentingan umum. Apa itu? Forum Editor! Forum Editor a...
-
Prof Jan Romain pada tahun 1953 menulis sebuah buku — sebenarnya materi perkuliahannya di Universitas Gadjah Mada — berjudul “Aera Eropa.” ...
-
Ini lagu Minang, “Dikijoknyo Den,” lalu oleh Upiak Isil didendangkan dalam bahasa Indonesia, maka jadilah lagu itu, “Dikedipnya Aku.” Lagu ...
-
Khairul Jasmi ”Georgia,” anak saya, Jombang Santani Khairen menjawab dengan tangkas, tatkala pembawa acara di RCTI Tamara Geraldine mengaj...
-
Khairul Jasmi Sekolah sejak dari TK -- sebenarnya TK bukan sekolah dan saya tak pernah masuk TK -- sampai perguruan tinggi, adalah perjalana...
-
Sarawa hawaii adalah celana pendek selutut atau di atasnya lagi, pakai kajai di pinggangnya. Ciri khasnya warna-warni. Tak saya temukan k...
-
Malam sebentar lagi larut, tapi Payakumbuh semakin ramai. Sepanjang jalan nan lurus pedagang kaki lima berderet rapi. Cahaya lampu dari gero...

Categories
- Berita ( 2 )
- Jalan-jalan ( 5 )
- Komentar ( 33 )
- Opini ( 20 )
- Tulisan ( 21 )
- Wasit Garis ( 112 )

Blog Archive
-
▼
2011
(
95
)
-
▼
Januari
(
69
)
- Payakumbuh
- Tamara Geraldine
- Telepon Genggam
- SMA 1 Padang
- Jakarta
- Permen
- Masakan Padang
- Merdeka
- Bahasa Minang Indonesia II
- Meja Makan
- Maling
- Makan Siang
- Kelulusan dan Pelepasan
- Negeri Lucu, Negeri Selingkuh
- Melirik
- Entah Luna Maya
- Mari Berdendang
- Kursi Nomor 1
- Takbir
- Kunci Rumah
- Korek Api
- Secangkir Kopi
- Koin Cinta
- King
- Bunker Kiamat
- Bisnis Restoran
- Pendidikan Karakter
- Was-was
- Jujai
- Jengkol
- Jam Gadang
- Jalan Berlobang
- Jakarta
- Hati yang Gembira
- Sit Ball
- Ikan Padang
- Ide
- Masakan Ibu
- Ulangtahun
- Hujan sekarang agak pamberang dibanding hujan saat...
- Pemilihan Gubernur
- Gusi Mobil
- Gubernur
- Calon Gubernur
- Recovery Pascagempa
- Gelap
- Gampo
- Aera Eropa
- Diniyyah Putri
- Cinta
- Cerita Pendek
- Cerai Politik
- Caleg ATM
- Berbunga-bunga
- Bom
- Novel Asrama Bidadari
- Berita Kecil
- Di Rumah, Tidur, Sendiri
- Bambu Illegal Logging
- Bahasa Minang Indonesia
- Awan dan Langit
- Avanza
- Antre di Bank
- Antasari Azhar
- Anggi
- Lembah Anai
- Politik Rasionalitas
- 100 Hari Pascagempa
- Sinisme Politik
-
▼
Januari
(
69
)

0 komentar :
Posting Komentar