On
1/31/2011 03:54:00 AM
by
Khairul Jasmi
in
Wasit Garis
No comments
Khairul Jasmi
“Di sini nga ada rumah makan padang ya,” teman saya dari Jakarta bertanya.
“Dulu tidak, sekarang ada,” jawab teman yang lain yang saja ajak menjemput si tamu ke BIM.
Kami ceritakanlah kepadanya, di Padang dan Bukittinggi sekarang sudah ada rumah makan dengan tulisan besar-besar, ‘masakan padang’
“Habis sudah keunikkan kampungmu,” katanya.
Masakan padang adalah indentitas kuktural yang diberikan oleh orang luar Sumatra Barat terhadap masakan/rumah makan padang di mana saja berada di Indonesia bahkan di dunia, kecuali jika rumah makan itu ada di Sumbar.
Kini tiba-tiba indentitas itu mencogok pula di Sumbar. Ini, bola lantun yang disepak-sepak sejak dulu, kini bola itu menggelinding dengan indah ke Ranah Minang dalam bentuk bisnis waralaba.
Awalnya di rantau berdirilah ribuan rumah makan padang. Banyak yang sukses dan melebarkan sayapnya. Karena sudah menjadi bisnis besar, maka merek bisa dibeli siapa saja, dengan sejumlah persyaratan. Maka dibelilah merek dan masakan padang itu. Di mana-mana ditemukan rumah makan padang. Kita luar biasa bangganya. Tak ada suku bangsa segesit kita kalau untuk urusan rumah makan.
Tapi tak seorangpun bisa melarang, rumah makan yang sudah maralaba tadi didirikan di Sumbar. Maka ketika hal itu terjadi, aturan bisnis memaksanya untuk tetap memakai identitas “masakan padang” meski rumah makan itu berdiri di Padang. Inilah untuk pertama kali, ada mereka rumah makan padang di Padang. Sejarah membentuk wajahnya sendiri.
Ini risiko bisnis moderen. Risiko yang harus diterima oleh orang Padang, di kampungnya sendiri ada pula rumah makan ‘masakan padang’. Secara pribadi saya ingin berontak, tapi apa hendak dikata. Air berbalik mudik itu, sebuah keniscayaan sejarah, suka atau tidak.
Ribuan pemilik rumah makan asli Minang lainnya, tak perlu risau dan memang tak mereka pikirkan soal merek. Di Sumbar, bukan merek yang penting, tapi cita rasa.
Orang Sumbar merupakan orang paling lahap di Indonesia. Mereka rela memburu rumah makan dengan sajian nikmat. Hidup hanya sebentar, soal makan, tak boleh ditawar-tawar. Karena itu, wajar, rumah makan atap daun rumbia yang kotor di By Pass Padang, kewalahan melayani pembelinya, karena sajiannya yang enak.
Tapi apapun, ‘masakan padang’ masuk Padang, merupakan buah dari ‘karatau madang di ulu’. Buah dari selera bisnis urang awak. Buah dari rantau yang diantarkan kepada mandeh di kampung halaman. Bukanlah selama ini, kita mengelu-elukan rantau?
Yang pulang dari rantau bukan hanya orang, tapi juga uang. Selain itu juga merek. Maka, marilah kita bergembira ria melihat air berbalik mudik. Tetapi secara pribadi, dada kebudayaan saya sedikit terguncang. Hal-hal yang berada di luar pikiran saya, bisa terjadi rupanya.
Apa hendak dikata, bisnis adalah sesuatu yang mengasyikkan. Rumah makan padang, masuk ke Padang, menurut teori marketing, merupakan sebuah samudera biru. Menjual senapan ke tukang senapan. Membawa onta ke Arab Saudi, membawa bir ke Jerman. Ternyata laku.
Hidup sesungguhnya mencari peluang-peluang. Itulah bisnis. *
“Di sini nga ada rumah makan padang ya,” teman saya dari Jakarta bertanya.
“Dulu tidak, sekarang ada,” jawab teman yang lain yang saja ajak menjemput si tamu ke BIM.
Kami ceritakanlah kepadanya, di Padang dan Bukittinggi sekarang sudah ada rumah makan dengan tulisan besar-besar, ‘masakan padang’
“Habis sudah keunikkan kampungmu,” katanya.
Masakan padang adalah indentitas kuktural yang diberikan oleh orang luar Sumatra Barat terhadap masakan/rumah makan padang di mana saja berada di Indonesia bahkan di dunia, kecuali jika rumah makan itu ada di Sumbar.
Kini tiba-tiba indentitas itu mencogok pula di Sumbar. Ini, bola lantun yang disepak-sepak sejak dulu, kini bola itu menggelinding dengan indah ke Ranah Minang dalam bentuk bisnis waralaba.
Awalnya di rantau berdirilah ribuan rumah makan padang. Banyak yang sukses dan melebarkan sayapnya. Karena sudah menjadi bisnis besar, maka merek bisa dibeli siapa saja, dengan sejumlah persyaratan. Maka dibelilah merek dan masakan padang itu. Di mana-mana ditemukan rumah makan padang. Kita luar biasa bangganya. Tak ada suku bangsa segesit kita kalau untuk urusan rumah makan.
Tapi tak seorangpun bisa melarang, rumah makan yang sudah maralaba tadi didirikan di Sumbar. Maka ketika hal itu terjadi, aturan bisnis memaksanya untuk tetap memakai identitas “masakan padang” meski rumah makan itu berdiri di Padang. Inilah untuk pertama kali, ada mereka rumah makan padang di Padang. Sejarah membentuk wajahnya sendiri.
Ini risiko bisnis moderen. Risiko yang harus diterima oleh orang Padang, di kampungnya sendiri ada pula rumah makan ‘masakan padang’. Secara pribadi saya ingin berontak, tapi apa hendak dikata. Air berbalik mudik itu, sebuah keniscayaan sejarah, suka atau tidak.
Ribuan pemilik rumah makan asli Minang lainnya, tak perlu risau dan memang tak mereka pikirkan soal merek. Di Sumbar, bukan merek yang penting, tapi cita rasa.
Orang Sumbar merupakan orang paling lahap di Indonesia. Mereka rela memburu rumah makan dengan sajian nikmat. Hidup hanya sebentar, soal makan, tak boleh ditawar-tawar. Karena itu, wajar, rumah makan atap daun rumbia yang kotor di By Pass Padang, kewalahan melayani pembelinya, karena sajiannya yang enak.
Tapi apapun, ‘masakan padang’ masuk Padang, merupakan buah dari ‘karatau madang di ulu’. Buah dari selera bisnis urang awak. Buah dari rantau yang diantarkan kepada mandeh di kampung halaman. Bukanlah selama ini, kita mengelu-elukan rantau?
Yang pulang dari rantau bukan hanya orang, tapi juga uang. Selain itu juga merek. Maka, marilah kita bergembira ria melihat air berbalik mudik. Tetapi secara pribadi, dada kebudayaan saya sedikit terguncang. Hal-hal yang berada di luar pikiran saya, bisa terjadi rupanya.
Apa hendak dikata, bisnis adalah sesuatu yang mengasyikkan. Rumah makan padang, masuk ke Padang, menurut teori marketing, merupakan sebuah samudera biru. Menjual senapan ke tukang senapan. Membawa onta ke Arab Saudi, membawa bir ke Jerman. Ternyata laku.
Hidup sesungguhnya mencari peluang-peluang. Itulah bisnis. *
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Search
Popular Posts
-
Ini bukan untuk gagah-gagahan, tapi mencoba berkontribusi lebih banyak lagi bagi kepentingan umum. Apa itu? Forum Editor! Forum Editor a...
-
Khairul Jasmi Di Padang saat ini banyak benar jalan berlobang. Jika tak berlobang, aspalnya terkelupas. Kondisi jalan yang buruk menyebabk...
-
Saya naik pesawat Susi Air dari Simpang Empat ke BIM, begitu mendarat saya sudah ketinggalan siaran langsung pengumuman kabinet oleh Preside...
-
Di pinggang malam, karum jam naik, kami turun ke ruang pracetak. Di dada malam, mesin bergemuruh mencetak huruf demi huruf. Di rumahnya, re...
-
Besi tua, jejak sejarah, eksotik, unik, pabrik indah : indarung 1 Fotografer by : Yosfiandri
-
Ini lagu Minang, “Dikijoknyo Den,” lalu oleh Upiak Isil didendangkan dalam bahasa Indonesia, maka jadilah lagu itu, “Dikedipnya Aku.” Lagu ...
-
Di sebuah rumah minimalis, tinggal sebuah keluarga kecil. Papa, mama dan tiga anak. Anak-anaknya diajari berbahasa Indonesia sejak kecil. Di...
-
Forum pemred indonesia bersama menkeu Sri Mulyani. Saya menyampaikan Tax pasar semen yang mesti digejot, pestisida yang mahal karena impor, ...
-
Ini malam bainai, dipahat sambil main pedang. dari Batam terus ke Dumai, melihat Semen Padang.
Recent Posts
Categories
- Berita ( 2 )
- Jalan-jalan ( 5 )
- Komentar ( 33 )
- Opini ( 20 )
- Tulisan ( 21 )
- Wasit Garis ( 112 )
Sample Text
Blog Archive
-
▼
2011
(
95
)
-
▼
Januari
(
69
)
- Payakumbuh
- Tamara Geraldine
- Telepon Genggam
- SMA 1 Padang
- Jakarta
- Permen
- Masakan Padang
- Merdeka
- Bahasa Minang Indonesia II
- Meja Makan
- Maling
- Makan Siang
- Kelulusan dan Pelepasan
- Negeri Lucu, Negeri Selingkuh
- Melirik
- Entah Luna Maya
- Mari Berdendang
- Kursi Nomor 1
- Takbir
- Kunci Rumah
- Korek Api
- Secangkir Kopi
- Koin Cinta
- King
- Bunker Kiamat
- Bisnis Restoran
- Pendidikan Karakter
- Was-was
- Jujai
- Jengkol
- Jam Gadang
- Jalan Berlobang
- Jakarta
- Hati yang Gembira
- Sit Ball
- Ikan Padang
- Ide
- Masakan Ibu
- Ulangtahun
- Hujan sekarang agak pamberang dibanding hujan saat...
- Pemilihan Gubernur
- Gusi Mobil
- Gubernur
- Calon Gubernur
- Recovery Pascagempa
- Gelap
- Gampo
- Aera Eropa
- Diniyyah Putri
- Cinta
- Cerita Pendek
- Cerai Politik
- Caleg ATM
- Berbunga-bunga
- Bom
- Novel Asrama Bidadari
- Berita Kecil
- Di Rumah, Tidur, Sendiri
- Bambu Illegal Logging
- Bahasa Minang Indonesia
- Awan dan Langit
- Avanza
- Antre di Bank
- Antasari Azhar
- Anggi
- Lembah Anai
- Politik Rasionalitas
- 100 Hari Pascagempa
- Sinisme Politik
-
▼
Januari
(
69
)
0 komentar :
Posting Komentar