On
1/31/2011 03:53:00 AM
by
Khairul Jasmi
in
Wasit Garis
No comments
Khairul Jasmi
Dalam hutan di tepi jalan dekat sebuah tikungan tajam, seorang prajurit tak bergaji menahan nafas mengokang senjata dan kemudian menembak serdadu Belanda. Si Belanda palasik itu, kena dadanya. Ia tewas, tapi kemudian teman-temannya marah besar. Ia sosoh hutan kecil itu. Prajurit kita ini, lari menjauh. Ia selamat.
Sampai peristiwa hari itu, sudah empat serdadu Belanda ditembaknya. Dua tewas, dua luka parah. Ia belum puas, ia ingin Belanda pergi dari Indonesia, sebab negeri ini sudah merdeka. Tak lama kemudian terjadi penyerahan kedaulatan oleh Belanda pada Indonesia. Euforia di mana-mana.
Tiga tahun lalu, ya tiga tahun lalu, si prajurit tua tersebut meninggal dunia. Ia meninggal dalam keadaan ringkih. Pensiunan veterannya, dijanjikan akan keluar, tapi ia keburu meninggal dunia. Di kampung itu, almarhum dikenal sebagai prajurit dan pejuang hebat. Nama besar itu, membuat keluarganya dihormati.
Istrinya telah lebih dulu pergi. Saat maut menjemput pejuang kita ini, anak-anaknya yang enam orang berada di sisinya ditabah cucu-cucunya. Keenam anaknya, hanya satu yang jadi pegawai negeri, sisanya jadi petani.
Cucu-cucunya, sebagian sudah tamat sekolah. Ada yang tamat kuliah, tapi lebih banyak yang hanya tamat SMA. Tapi sebenarnya pejuang kita ini tak butuh itu. Ia sedih sekali cucu-cucunya tak dapat pekerjaan juga, mereka hanya menjadi penganggur. Ketika ia tanya kenapa tak dapat pekerjaan, cucunya menjawab, alangkah sulitnya mencari pekerjaan sekarang.
Gaek ini, sebelum meninggal terus memikirkan cucu-cucunya itu. Sambil memikirkan, ia ingat cinta manisnya dengan sang istri zaman perjuangan dulu. Mereka berjanji menguntai kasih berdua sampai maut memisahkan. Istrinya amat setia dan ia juga setia.
Kini, anak keturunannya, di zaman merdeka begini, tak dapat jatah lowongan pekerjaan. Ingin ia menjerit, ingin ia menembak siapa saja, ingin ia panjat kantor gubernnur, ingin dia menepuk dada dan membanggakan hasil perjuangannya. Tapi kemudian, ia terkulai sendiri.
Ini zaman tak lagi peka terhadap orangtua, juga orangtua pejuang. Zaman yang telah hanyut dilarikan waktu entah kemana. Di zaman ini, ia hanya bisa mendengar lagu-lagu perjuangan saat pagi di radio dan dinihari di televisi. Tidak seperti dulu lagi, menjadi menu keseharian. Kini, entah lagu ngakngok apa, ia tak mengerti.
Setahun menjelang meninggal, ia masih menyaksikan peringatan Tujuhbelasan, bendera berkibar-kibar tapi tidak di setiap rumah penduduk. Hanya untuk bendera, orang saat ini sudah enggan, apalagi berjuang.
Ia jadi bingung sendiri, jangan-jangan jiwa perjuangan, jiwa maju tak gentar yang ada di dadanya, tidak diwarisi oleh anak cucunya. Anak muda itu majal, lembek dan tak gesit.
Bisa jadi, bisik hatinya, mereka tak mendapat jatah pekerjaan, karena hal itu. Tapi, pejuang kesepian ini, menyimpan sendiri anggapannya itu dalam dada.
Pada suatu malam di layar televisi ia saksikan Malaysia mau merampas perairan Indonesia. Gaek ini menggigil. Ia kepalkan tinjunya. Darahnya naik, deru nafasnya kencang.
“Tidak bisa!” Ia marah. Setelah itu, ia terkulai, lalu mati. *
Dalam hutan di tepi jalan dekat sebuah tikungan tajam, seorang prajurit tak bergaji menahan nafas mengokang senjata dan kemudian menembak serdadu Belanda. Si Belanda palasik itu, kena dadanya. Ia tewas, tapi kemudian teman-temannya marah besar. Ia sosoh hutan kecil itu. Prajurit kita ini, lari menjauh. Ia selamat.
Sampai peristiwa hari itu, sudah empat serdadu Belanda ditembaknya. Dua tewas, dua luka parah. Ia belum puas, ia ingin Belanda pergi dari Indonesia, sebab negeri ini sudah merdeka. Tak lama kemudian terjadi penyerahan kedaulatan oleh Belanda pada Indonesia. Euforia di mana-mana.
Tiga tahun lalu, ya tiga tahun lalu, si prajurit tua tersebut meninggal dunia. Ia meninggal dalam keadaan ringkih. Pensiunan veterannya, dijanjikan akan keluar, tapi ia keburu meninggal dunia. Di kampung itu, almarhum dikenal sebagai prajurit dan pejuang hebat. Nama besar itu, membuat keluarganya dihormati.
Istrinya telah lebih dulu pergi. Saat maut menjemput pejuang kita ini, anak-anaknya yang enam orang berada di sisinya ditabah cucu-cucunya. Keenam anaknya, hanya satu yang jadi pegawai negeri, sisanya jadi petani.
Cucu-cucunya, sebagian sudah tamat sekolah. Ada yang tamat kuliah, tapi lebih banyak yang hanya tamat SMA. Tapi sebenarnya pejuang kita ini tak butuh itu. Ia sedih sekali cucu-cucunya tak dapat pekerjaan juga, mereka hanya menjadi penganggur. Ketika ia tanya kenapa tak dapat pekerjaan, cucunya menjawab, alangkah sulitnya mencari pekerjaan sekarang.
Gaek ini, sebelum meninggal terus memikirkan cucu-cucunya itu. Sambil memikirkan, ia ingat cinta manisnya dengan sang istri zaman perjuangan dulu. Mereka berjanji menguntai kasih berdua sampai maut memisahkan. Istrinya amat setia dan ia juga setia.
Kini, anak keturunannya, di zaman merdeka begini, tak dapat jatah lowongan pekerjaan. Ingin ia menjerit, ingin ia menembak siapa saja, ingin ia panjat kantor gubernnur, ingin dia menepuk dada dan membanggakan hasil perjuangannya. Tapi kemudian, ia terkulai sendiri.
Ini zaman tak lagi peka terhadap orangtua, juga orangtua pejuang. Zaman yang telah hanyut dilarikan waktu entah kemana. Di zaman ini, ia hanya bisa mendengar lagu-lagu perjuangan saat pagi di radio dan dinihari di televisi. Tidak seperti dulu lagi, menjadi menu keseharian. Kini, entah lagu ngakngok apa, ia tak mengerti.
Setahun menjelang meninggal, ia masih menyaksikan peringatan Tujuhbelasan, bendera berkibar-kibar tapi tidak di setiap rumah penduduk. Hanya untuk bendera, orang saat ini sudah enggan, apalagi berjuang.
Ia jadi bingung sendiri, jangan-jangan jiwa perjuangan, jiwa maju tak gentar yang ada di dadanya, tidak diwarisi oleh anak cucunya. Anak muda itu majal, lembek dan tak gesit.
Bisa jadi, bisik hatinya, mereka tak mendapat jatah pekerjaan, karena hal itu. Tapi, pejuang kesepian ini, menyimpan sendiri anggapannya itu dalam dada.
Pada suatu malam di layar televisi ia saksikan Malaysia mau merampas perairan Indonesia. Gaek ini menggigil. Ia kepalkan tinjunya. Darahnya naik, deru nafasnya kencang.
“Tidak bisa!” Ia marah. Setelah itu, ia terkulai, lalu mati. *
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Search
Popular Posts
-
Ini bukan untuk gagah-gagahan, tapi mencoba berkontribusi lebih banyak lagi bagi kepentingan umum. Apa itu? Forum Editor! Forum Editor a...
-
Khairul Jasmi Di Padang saat ini banyak benar jalan berlobang. Jika tak berlobang, aspalnya terkelupas. Kondisi jalan yang buruk menyebabk...
-
Saya naik pesawat Susi Air dari Simpang Empat ke BIM, begitu mendarat saya sudah ketinggalan siaran langsung pengumuman kabinet oleh Preside...
-
Di pinggang malam, karum jam naik, kami turun ke ruang pracetak. Di dada malam, mesin bergemuruh mencetak huruf demi huruf. Di rumahnya, re...
-
Besi tua, jejak sejarah, eksotik, unik, pabrik indah : indarung 1 Fotografer by : Yosfiandri
-
Ini lagu Minang, “Dikijoknyo Den,” lalu oleh Upiak Isil didendangkan dalam bahasa Indonesia, maka jadilah lagu itu, “Dikedipnya Aku.” Lagu ...
-
Di sebuah rumah minimalis, tinggal sebuah keluarga kecil. Papa, mama dan tiga anak. Anak-anaknya diajari berbahasa Indonesia sejak kecil. Di...
-
Forum pemred indonesia bersama menkeu Sri Mulyani. Saya menyampaikan Tax pasar semen yang mesti digejot, pestisida yang mahal karena impor, ...
-
Ini malam bainai, dipahat sambil main pedang. dari Batam terus ke Dumai, melihat Semen Padang.
Recent Posts
Categories
- Berita ( 2 )
- Jalan-jalan ( 5 )
- Komentar ( 33 )
- Opini ( 20 )
- Tulisan ( 21 )
- Wasit Garis ( 112 )
Sample Text
Blog Archive
-
▼
2011
(
95
)
-
▼
Januari
(
69
)
- Payakumbuh
- Tamara Geraldine
- Telepon Genggam
- SMA 1 Padang
- Jakarta
- Permen
- Masakan Padang
- Merdeka
- Bahasa Minang Indonesia II
- Meja Makan
- Maling
- Makan Siang
- Kelulusan dan Pelepasan
- Negeri Lucu, Negeri Selingkuh
- Melirik
- Entah Luna Maya
- Mari Berdendang
- Kursi Nomor 1
- Takbir
- Kunci Rumah
- Korek Api
- Secangkir Kopi
- Koin Cinta
- King
- Bunker Kiamat
- Bisnis Restoran
- Pendidikan Karakter
- Was-was
- Jujai
- Jengkol
- Jam Gadang
- Jalan Berlobang
- Jakarta
- Hati yang Gembira
- Sit Ball
- Ikan Padang
- Ide
- Masakan Ibu
- Ulangtahun
- Hujan sekarang agak pamberang dibanding hujan saat...
- Pemilihan Gubernur
- Gusi Mobil
- Gubernur
- Calon Gubernur
- Recovery Pascagempa
- Gelap
- Gampo
- Aera Eropa
- Diniyyah Putri
- Cinta
- Cerita Pendek
- Cerai Politik
- Caleg ATM
- Berbunga-bunga
- Bom
- Novel Asrama Bidadari
- Berita Kecil
- Di Rumah, Tidur, Sendiri
- Bambu Illegal Logging
- Bahasa Minang Indonesia
- Awan dan Langit
- Avanza
- Antre di Bank
- Antasari Azhar
- Anggi
- Lembah Anai
- Politik Rasionalitas
- 100 Hari Pascagempa
- Sinisme Politik
-
▼
Januari
(
69
)
0 komentar :
Posting Komentar