On
1/31/2011 03:37:00 AM
by
Khairul Jasmi
in
Wasit Garis
No comments
Musim pilkada, musim kampanye hitam. begitulah, beberapa SMS masuk ke telepon genggam saya. Isinya kampanye hitam soal Marlis Rahman, Endang Irzal dan Fauzi Bahar. Kemudian masuk SMS berikut, kampanye hitam untuk dua pasang calon. Yang disebut terakhir jelas pengirimnya pendukung salah satu calon. Begitulah tiap hari, ada-ada saja bunyi SMS. Intinya, semua tak layak dipilih dan semua koruptor. Sebentar lagi akan ada pula kampanye hitam untuk Irwan Prayitno.
Ada yang mengatakan hari akan kiamat jika si anu dipilih, jika polan, kiamat juga, tapi jika si polin, hari tak kiamat. Gampang saja dia mengatakan si anu tak layak pilih. Yang teringat oleh saya saat membaca SMS itu, apa gunanya kampanye hitam? menambah-nambah dosa saja.
Seharusnya, si pengirim memberitakan data-data kepeda pers atau pihak kejaksaan atau polisi. Tapi itu tak dilakukan. Namanya saja kampanye hitam, tentulah si pengirim SMS bukan hendak mengusut kasus demi kasus, tapi untuk merusak kredibilitas calon gubernur yang akan bertanding.
Bisa jadi SMS-SMS itu akan mengubah opini, bisa pula tak berpengaruh sama-sekali. Bagi pengirim SMS, mungkin tujuannya sudah tercapai. Tujuan tiap kita memang berbeda-beda.
Banyak orang berpikir, terserah siapa saja jadi gubernur, sebab nasib keluarganya takkan juga berubah. Sikap apatis itu, adalah gambaran, betapa seorang gubernur tak diperlukan oleh rakyat yang berpikir demikian. Terlalu tinggi jabatan gubernur. Lagi pula, sudah berpuluh tahun hidup, sudah silih berganti gubernur, nasibnya memang tak pernah berubah.
Tapi apa benar gubernur yang akan mengubah nasib kita? Rsaanya tidak. Mau jadi gubernur mau tidak, nasib kita tergantung kita. Nasib korban gempa misalnya, walau ada gubernur baru, bupati baru, walikota baru, bantuan akan lambat juga.
Tapi pilkada kali ini, memang semarak. Lawan sama berat, peluang sama besar, uang tak sama banyak. Semaraknya melimpah sampai ke suratkabar dalam bentuyk pariwara dan adivetorial. Tapi, kalau tak ditagih bayarannya menjelang pilkada dilaksanakan, bisa tak dibayar oleh yang kalah. Manalah orang kalah mau membayar hutang.
Termasuk ke dalam hutang-hutang itu, biaya makan siang, biaya pulsa, biaya tim yang hilir mudik. Makin tinggi intensitas hilir mudiknya, makin mahal biayanya.
Tapi, bukankah jariah manantang buliah? Untuk semua urusan pilkada-pilkada ini sudah dibuatkan pantun dan dendangnya oleh nenek moyang kita. Kampanye hitam? ada pantunnya, banyak. Kalah menang, ada pantunnya, bayak pula. Hutang-piutang, apalagi.
Kata teman saya, uang untuk pilkada yang miliaran-miliaran itu, sebaiknya diikat saja, entah berapa karungnya. Karungnya itu diseret-seret. “Kebek se pitih tuh, irik ilia mudiak, jaleh kama painyo” katanya.
Nah begitulah. Yang hendak ia sampaikan, kalau takkan menang, kenapa harus maju? Teman saya ini tak tahu, bahwa orang banyak duit, tak memikirkan kemana uangnya pergi. Harga diri lebih penting dari uang.
“Dek den kini nan paralu pitih,” kata dia sambil naik ojek. *
Ada yang mengatakan hari akan kiamat jika si anu dipilih, jika polan, kiamat juga, tapi jika si polin, hari tak kiamat. Gampang saja dia mengatakan si anu tak layak pilih. Yang teringat oleh saya saat membaca SMS itu, apa gunanya kampanye hitam? menambah-nambah dosa saja.
Seharusnya, si pengirim memberitakan data-data kepeda pers atau pihak kejaksaan atau polisi. Tapi itu tak dilakukan. Namanya saja kampanye hitam, tentulah si pengirim SMS bukan hendak mengusut kasus demi kasus, tapi untuk merusak kredibilitas calon gubernur yang akan bertanding.
Bisa jadi SMS-SMS itu akan mengubah opini, bisa pula tak berpengaruh sama-sekali. Bagi pengirim SMS, mungkin tujuannya sudah tercapai. Tujuan tiap kita memang berbeda-beda.
Banyak orang berpikir, terserah siapa saja jadi gubernur, sebab nasib keluarganya takkan juga berubah. Sikap apatis itu, adalah gambaran, betapa seorang gubernur tak diperlukan oleh rakyat yang berpikir demikian. Terlalu tinggi jabatan gubernur. Lagi pula, sudah berpuluh tahun hidup, sudah silih berganti gubernur, nasibnya memang tak pernah berubah.
Tapi apa benar gubernur yang akan mengubah nasib kita? Rsaanya tidak. Mau jadi gubernur mau tidak, nasib kita tergantung kita. Nasib korban gempa misalnya, walau ada gubernur baru, bupati baru, walikota baru, bantuan akan lambat juga.
Tapi pilkada kali ini, memang semarak. Lawan sama berat, peluang sama besar, uang tak sama banyak. Semaraknya melimpah sampai ke suratkabar dalam bentuyk pariwara dan adivetorial. Tapi, kalau tak ditagih bayarannya menjelang pilkada dilaksanakan, bisa tak dibayar oleh yang kalah. Manalah orang kalah mau membayar hutang.
Termasuk ke dalam hutang-hutang itu, biaya makan siang, biaya pulsa, biaya tim yang hilir mudik. Makin tinggi intensitas hilir mudiknya, makin mahal biayanya.
Tapi, bukankah jariah manantang buliah? Untuk semua urusan pilkada-pilkada ini sudah dibuatkan pantun dan dendangnya oleh nenek moyang kita. Kampanye hitam? ada pantunnya, banyak. Kalah menang, ada pantunnya, bayak pula. Hutang-piutang, apalagi.
Kata teman saya, uang untuk pilkada yang miliaran-miliaran itu, sebaiknya diikat saja, entah berapa karungnya. Karungnya itu diseret-seret. “Kebek se pitih tuh, irik ilia mudiak, jaleh kama painyo” katanya.
Nah begitulah. Yang hendak ia sampaikan, kalau takkan menang, kenapa harus maju? Teman saya ini tak tahu, bahwa orang banyak duit, tak memikirkan kemana uangnya pergi. Harga diri lebih penting dari uang.
“Dek den kini nan paralu pitih,” kata dia sambil naik ojek. *
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Search
Popular Posts
-
Ini bukan untuk gagah-gagahan, tapi mencoba berkontribusi lebih banyak lagi bagi kepentingan umum. Apa itu? Forum Editor! Forum Editor a...
-
Khairul Jasmi Di Padang saat ini banyak benar jalan berlobang. Jika tak berlobang, aspalnya terkelupas. Kondisi jalan yang buruk menyebabk...
-
Saya naik pesawat Susi Air dari Simpang Empat ke BIM, begitu mendarat saya sudah ketinggalan siaran langsung pengumuman kabinet oleh Preside...
-
Di pinggang malam, karum jam naik, kami turun ke ruang pracetak. Di dada malam, mesin bergemuruh mencetak huruf demi huruf. Di rumahnya, re...
-
Besi tua, jejak sejarah, eksotik, unik, pabrik indah : indarung 1 Fotografer by : Yosfiandri
-
Ini lagu Minang, “Dikijoknyo Den,” lalu oleh Upiak Isil didendangkan dalam bahasa Indonesia, maka jadilah lagu itu, “Dikedipnya Aku.” Lagu ...
-
Di sebuah rumah minimalis, tinggal sebuah keluarga kecil. Papa, mama dan tiga anak. Anak-anaknya diajari berbahasa Indonesia sejak kecil. Di...
-
Forum pemred indonesia bersama menkeu Sri Mulyani. Saya menyampaikan Tax pasar semen yang mesti digejot, pestisida yang mahal karena impor, ...
-
Ini malam bainai, dipahat sambil main pedang. dari Batam terus ke Dumai, melihat Semen Padang.
Recent Posts
Categories
- Berita ( 2 )
- Jalan-jalan ( 5 )
- Komentar ( 33 )
- Opini ( 20 )
- Tulisan ( 21 )
- Wasit Garis ( 112 )
Sample Text
Blog Archive
-
▼
2011
(
95
)
-
▼
Januari
(
69
)
- Payakumbuh
- Tamara Geraldine
- Telepon Genggam
- SMA 1 Padang
- Jakarta
- Permen
- Masakan Padang
- Merdeka
- Bahasa Minang Indonesia II
- Meja Makan
- Maling
- Makan Siang
- Kelulusan dan Pelepasan
- Negeri Lucu, Negeri Selingkuh
- Melirik
- Entah Luna Maya
- Mari Berdendang
- Kursi Nomor 1
- Takbir
- Kunci Rumah
- Korek Api
- Secangkir Kopi
- Koin Cinta
- King
- Bunker Kiamat
- Bisnis Restoran
- Pendidikan Karakter
- Was-was
- Jujai
- Jengkol
- Jam Gadang
- Jalan Berlobang
- Jakarta
- Hati yang Gembira
- Sit Ball
- Ikan Padang
- Ide
- Masakan Ibu
- Ulangtahun
- Hujan sekarang agak pamberang dibanding hujan saat...
- Pemilihan Gubernur
- Gusi Mobil
- Gubernur
- Calon Gubernur
- Recovery Pascagempa
- Gelap
- Gampo
- Aera Eropa
- Diniyyah Putri
- Cinta
- Cerita Pendek
- Cerai Politik
- Caleg ATM
- Berbunga-bunga
- Bom
- Novel Asrama Bidadari
- Berita Kecil
- Di Rumah, Tidur, Sendiri
- Bambu Illegal Logging
- Bahasa Minang Indonesia
- Awan dan Langit
- Avanza
- Antre di Bank
- Antasari Azhar
- Anggi
- Lembah Anai
- Politik Rasionalitas
- 100 Hari Pascagempa
- Sinisme Politik
-
▼
Januari
(
69
)
0 komentar :
Posting Komentar