SBY menang, sudah diramal sejak awal. Menurut saya, Partai Demokrat bisa menang, karena faktor figur SBY. Sekarang, SBY itu benar yang berlaga, tentu akan lebih menang lagi, sebab rakyat sudah menetapkan pilihannya mejelang pileg lalu dan pada pilpres tinggal melaksanakan. Ibarat orang bertunanganlah, akad nikahnya 8 Juli kemarin, tapi tunangannya sebelum April 2009 lalu, pacaran sejak 2004.
Rakyat dan SBY bertunangan, karena cara pandang mayoritas rakyat Indonesia terhadap SBY, tak sama dengan orang berilmu dan para pengamat. Rakyat tidak rumit-rumit, rasional saja. “Apak tu santun,” kata sejumlah warga yang saya tanya, kenapa ia memilih SBY.
“Ado BLT, anak wak se nan di rantau ndak mengiriman awak pitih doh,” kata yang lain.
“Gaji ke 13, tunjangan sertifikasi, PNPM, minyak ndak naiak,” kata yang lain pula.
“Apak tu gagah, tingga gadang, paralu juo mah, presiden wak gagah, bahaso Inggrisnya ancak lo” kata yang lain lagi.
Entah benar, entah tidak yang dikatakan rakyat badarai itu, tapi realitas kemudian membuktikan, rakyat amat berdaulat atas pilihannya.
Saya termenung-menung dibuat oleh hasil perolehan suara SBY yang mengejutkan. Bisa sebanyak itu, sungguh di luar dugaan saya. Saya memperkirakan, perolehan suaranya sekitar 51 persen saja, sedang JK 30 persen dan Mega sisanya. Tapi ternyata tidak demikian.
Analisa dangkal saya sampai pada suatu asumsi bahwa para pengamat yang menghiasi layar kaca setiap jam, tidak mengakar. Analisanya dari buku ke buku, dari pentas ke pentas, maunya benar sendiri dan bersikukuh atas pendapatnya. Mereka larut dalam dunia perkotaan yang memanjakannya, sehingga lupa realitas. Begitu juga para pengasuh acara debat di televisi.
Ada para ahli yang berkutat dengan analisa yang mendalam dengan bekal kajian lapangan dan penelitian. Mereka meramalkan hasil pilpres seperti yang akan terjadi sekarang. Tapi kemudian hasil survei mereka dipreteli dan penelitinya dikeroyok habis-habisan.
“Kalian mengecek sae, pilihan den ndak ka barubah doh,” kata rakyat pula mengomentari suara pengamat. Suara itu tak terdengar oleh pengamat.
Ternyata mereka bicara di televisi membawa kepentingan masing-masing dengan bungkus “pengamat”. Kecek-kecek pengamat yang tak karuan itu, yang antara lain, menyebabkan rakyat makin simpati pada SBY.
Di sisi lain, para pesaing SBY kerjanya hanya menyerang saja dan lupa mengkaji, apa kelemahan “tim kita”. Sementara kelemahan SBY tiap hari dikemukakan kepada publik. Akibatnya, tim SBY memperbaiki kelemahan-kelemahan itu. Lawan sibuk menyerang, SBY sibuk berbenah.
Dalam debat di televisi, SBY juga diserang. Dalam debat SBY kalah, tapi di rumah-rumah penduduk di desa-desa SBY lah yang menang. Komentar pemirsa yang rasional: “ Kan lah wak cubo surang-surang mah, ndak ado hasil e doh, mengecek sae, wak SBY se lah, nyo tanang,” kata mereka.
Itulah sebabnya, antara lain, mengapa iklan SBY lebih pada sisi kehidupan berkeluarga. Ditampilkan ia dan istri, anak-anak dan menantunya. Terlihat sebuah keluarga yang damai. Rakyat mengidamkan keluarga yang damai dan sejehtera, seperti keluarga di akhir sebuah sinetron.
Iklan SBY dan Boediono sewaktu kecil. “SBY jadi prajurit, Boediono jadi guru” Ini cita-cita rakyat, selain jadi dokter. Keluarga yang sederhana (tentu hanya di dalam iklan itu saja), tapi rakyat tersentuh. Apalagi iklan itu dibawakan dengan suara bariton yang lemah dan datar, nyaris seperti berbisik.
Iklan yang diadopsi dari lagu Indomie, juga mengena. Indomie adalah pemimpin pasar untuk dagangan itu, tak terkalahkan oleh apapun, meski Mie Sedaap berusaha terus mengejarnya. Lagu Indomie itu, dikaji secara amat matang oleh tim marketing Indofood, dipasakkan ke ingatan konsumen bahwa Indomie itu “seleraku”, selera seluruh rakyat Indonesia. Lagu iklan itu, hafal di luar kepala. SBY kemudian mengadopsinya.
Jargon “Lanjutkan!” Rakyat mengasosiasikannya dengan “Lanjutkan BLT, lanjutkan gaji 13 lanjutan semua hal untuk rakyat”
Iklan SBY hanya tersaingi oleh iklan Prabowo ketika ia masih sendiri, belum bergabung dengan Megawati. Iklan Gerindra itu, sangat menyentuh. Itulah sebabnya, Gerindra meraih suara signifikan. Jika saja, Gerindra muncul lebih awal dan mendahului Hanura, niscaya hasilnya akan lain.
Sekarang SBY telah terpilih, menurut hasil perhitungan sementara. Untuk ‘tahun ajaran’ ini ia bisa disebut, sebagai juara umum, di kelas bernama Indonesia, entah kalau hasil perhitungan KPU berkata lain. *
Rakyat dan SBY bertunangan, karena cara pandang mayoritas rakyat Indonesia terhadap SBY, tak sama dengan orang berilmu dan para pengamat. Rakyat tidak rumit-rumit, rasional saja. “Apak tu santun,” kata sejumlah warga yang saya tanya, kenapa ia memilih SBY.
“Ado BLT, anak wak se nan di rantau ndak mengiriman awak pitih doh,” kata yang lain.
“Gaji ke 13, tunjangan sertifikasi, PNPM, minyak ndak naiak,” kata yang lain pula.
“Apak tu gagah, tingga gadang, paralu juo mah, presiden wak gagah, bahaso Inggrisnya ancak lo” kata yang lain lagi.
Entah benar, entah tidak yang dikatakan rakyat badarai itu, tapi realitas kemudian membuktikan, rakyat amat berdaulat atas pilihannya.
Saya termenung-menung dibuat oleh hasil perolehan suara SBY yang mengejutkan. Bisa sebanyak itu, sungguh di luar dugaan saya. Saya memperkirakan, perolehan suaranya sekitar 51 persen saja, sedang JK 30 persen dan Mega sisanya. Tapi ternyata tidak demikian.
Analisa dangkal saya sampai pada suatu asumsi bahwa para pengamat yang menghiasi layar kaca setiap jam, tidak mengakar. Analisanya dari buku ke buku, dari pentas ke pentas, maunya benar sendiri dan bersikukuh atas pendapatnya. Mereka larut dalam dunia perkotaan yang memanjakannya, sehingga lupa realitas. Begitu juga para pengasuh acara debat di televisi.
Ada para ahli yang berkutat dengan analisa yang mendalam dengan bekal kajian lapangan dan penelitian. Mereka meramalkan hasil pilpres seperti yang akan terjadi sekarang. Tapi kemudian hasil survei mereka dipreteli dan penelitinya dikeroyok habis-habisan.
“Kalian mengecek sae, pilihan den ndak ka barubah doh,” kata rakyat pula mengomentari suara pengamat. Suara itu tak terdengar oleh pengamat.
Ternyata mereka bicara di televisi membawa kepentingan masing-masing dengan bungkus “pengamat”. Kecek-kecek pengamat yang tak karuan itu, yang antara lain, menyebabkan rakyat makin simpati pada SBY.
Di sisi lain, para pesaing SBY kerjanya hanya menyerang saja dan lupa mengkaji, apa kelemahan “tim kita”. Sementara kelemahan SBY tiap hari dikemukakan kepada publik. Akibatnya, tim SBY memperbaiki kelemahan-kelemahan itu. Lawan sibuk menyerang, SBY sibuk berbenah.
Dalam debat di televisi, SBY juga diserang. Dalam debat SBY kalah, tapi di rumah-rumah penduduk di desa-desa SBY lah yang menang. Komentar pemirsa yang rasional: “ Kan lah wak cubo surang-surang mah, ndak ado hasil e doh, mengecek sae, wak SBY se lah, nyo tanang,” kata mereka.
Itulah sebabnya, antara lain, mengapa iklan SBY lebih pada sisi kehidupan berkeluarga. Ditampilkan ia dan istri, anak-anak dan menantunya. Terlihat sebuah keluarga yang damai. Rakyat mengidamkan keluarga yang damai dan sejehtera, seperti keluarga di akhir sebuah sinetron.
Iklan SBY dan Boediono sewaktu kecil. “SBY jadi prajurit, Boediono jadi guru” Ini cita-cita rakyat, selain jadi dokter. Keluarga yang sederhana (tentu hanya di dalam iklan itu saja), tapi rakyat tersentuh. Apalagi iklan itu dibawakan dengan suara bariton yang lemah dan datar, nyaris seperti berbisik.
Iklan yang diadopsi dari lagu Indomie, juga mengena. Indomie adalah pemimpin pasar untuk dagangan itu, tak terkalahkan oleh apapun, meski Mie Sedaap berusaha terus mengejarnya. Lagu Indomie itu, dikaji secara amat matang oleh tim marketing Indofood, dipasakkan ke ingatan konsumen bahwa Indomie itu “seleraku”, selera seluruh rakyat Indonesia. Lagu iklan itu, hafal di luar kepala. SBY kemudian mengadopsinya.
Jargon “Lanjutkan!” Rakyat mengasosiasikannya dengan “Lanjutkan BLT, lanjutkan gaji 13 lanjutan semua hal untuk rakyat”
Iklan SBY hanya tersaingi oleh iklan Prabowo ketika ia masih sendiri, belum bergabung dengan Megawati. Iklan Gerindra itu, sangat menyentuh. Itulah sebabnya, Gerindra meraih suara signifikan. Jika saja, Gerindra muncul lebih awal dan mendahului Hanura, niscaya hasilnya akan lain.
Sekarang SBY telah terpilih, menurut hasil perhitungan sementara. Untuk ‘tahun ajaran’ ini ia bisa disebut, sebagai juara umum, di kelas bernama Indonesia, entah kalau hasil perhitungan KPU berkata lain. *
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Search
Popular Posts
-
Ini bukan untuk gagah-gagahan, tapi mencoba berkontribusi lebih banyak lagi bagi kepentingan umum. Apa itu? Forum Editor! Forum Editor a...
-
Khairul Jasmi Di Padang saat ini banyak benar jalan berlobang. Jika tak berlobang, aspalnya terkelupas. Kondisi jalan yang buruk menyebabk...
-
Saya naik pesawat Susi Air dari Simpang Empat ke BIM, begitu mendarat saya sudah ketinggalan siaran langsung pengumuman kabinet oleh Preside...
-
Di pinggang malam, karum jam naik, kami turun ke ruang pracetak. Di dada malam, mesin bergemuruh mencetak huruf demi huruf. Di rumahnya, re...
-
Besi tua, jejak sejarah, eksotik, unik, pabrik indah : indarung 1 Fotografer by : Yosfiandri
-
Ini lagu Minang, “Dikijoknyo Den,” lalu oleh Upiak Isil didendangkan dalam bahasa Indonesia, maka jadilah lagu itu, “Dikedipnya Aku.” Lagu ...
-
Di sebuah rumah minimalis, tinggal sebuah keluarga kecil. Papa, mama dan tiga anak. Anak-anaknya diajari berbahasa Indonesia sejak kecil. Di...
-
Forum pemred indonesia bersama menkeu Sri Mulyani. Saya menyampaikan Tax pasar semen yang mesti digejot, pestisida yang mahal karena impor, ...
-
Ini malam bainai, dipahat sambil main pedang. dari Batam terus ke Dumai, melihat Semen Padang.
Recent Posts
Categories
- Berita ( 2 )
- Jalan-jalan ( 5 )
- Komentar ( 33 )
- Opini ( 20 )
- Tulisan ( 21 )
- Wasit Garis ( 112 )
Sample Text
Blog Archive
-
▼
2011
(
95
)
-
▼
Januari
(
69
)
- Payakumbuh
- Tamara Geraldine
- Telepon Genggam
- SMA 1 Padang
- Jakarta
- Permen
- Masakan Padang
- Merdeka
- Bahasa Minang Indonesia II
- Meja Makan
- Maling
- Makan Siang
- Kelulusan dan Pelepasan
- Negeri Lucu, Negeri Selingkuh
- Melirik
- Entah Luna Maya
- Mari Berdendang
- Kursi Nomor 1
- Takbir
- Kunci Rumah
- Korek Api
- Secangkir Kopi
- Koin Cinta
- King
- Bunker Kiamat
- Bisnis Restoran
- Pendidikan Karakter
- Was-was
- Jujai
- Jengkol
- Jam Gadang
- Jalan Berlobang
- Jakarta
- Hati yang Gembira
- Sit Ball
- Ikan Padang
- Ide
- Masakan Ibu
- Ulangtahun
- Hujan sekarang agak pamberang dibanding hujan saat...
- Pemilihan Gubernur
- Gusi Mobil
- Gubernur
- Calon Gubernur
- Recovery Pascagempa
- Gelap
- Gampo
- Aera Eropa
- Diniyyah Putri
- Cinta
- Cerita Pendek
- Cerai Politik
- Caleg ATM
- Berbunga-bunga
- Bom
- Novel Asrama Bidadari
- Berita Kecil
- Di Rumah, Tidur, Sendiri
- Bambu Illegal Logging
- Bahasa Minang Indonesia
- Awan dan Langit
- Avanza
- Antre di Bank
- Antasari Azhar
- Anggi
- Lembah Anai
- Politik Rasionalitas
- 100 Hari Pascagempa
- Sinisme Politik
-
▼
Januari
(
69
)
0 komentar :
Posting Komentar