Khairul Jasmi
Saya meminum kahwa minimal 3 x sehari, selama 11 tahun tanpa henti. Kahwa adalah minuman khas orang Minang sejak kopi mulai berbuah di zaman tanam paksa. Buah kopinya untuk Belanda, daunnya untuk pribumi, maka kemudian lahirlah istilah ‘melayu kopidaun’. Daun disangai sedemikian rupa, kemudian diremas dan direbus. Airnya diminum. Enak selagi panas dan tentunya di pagi hari. Tanpa gula!
Ada air kahwa yang enak ada yang kelat, tergantung daun kopinya dan tergantung cara mengolahnya. Tapi, kahwa paling enak bagi saya, adalah buatan nenek saya. Suka-suka sayalah ya...
Setelah masuk sekolah menengah saya minum kahwa dua hari seminggu dan tetap minimal 3 x sehari. Setelah kuliah nyaris tidak pernah lagi. Nenek saya telah tiada dan membawa sejarah kahwa ke liang lahatnya. Semoga nenek saya berbahagia di alam barzah.
Saya tak hanya dekat dengan kahwa, tapi juga dengan kopi. Di kampung kami punya parak kopi tua. Entah siapa yang menanam, kami tinggal memetik saja. Batangnya tinggi-tinggi dan tak mudah patah. Memanjat pohon kopi sungguh enak, karena kita bisa pindah dari pohon yang satu ke pohon yang lain, seperti kera. Tapi saya tak pandai benar memanjat pohon dan memetik buahnya. Bagi orang dapat sekembut, bagi saya setengah kembut saja. Kopi dan kulit manis adalah bagian dari sejarah kehidupan dan intelektual saya.
Beberapa tahun silam, saya menderita maag akut. Minum kopi seteguk saja, perut saya langsung perih. Saya stop minum kopi.
Tapi saya tak bisa menghindar minum kopi ketika melakukan perjalanan jurnalistik ke Singapura dan harus mampir ke Singapore Tourism Bord (STB). Di sana rombongan disuguhi kopi, diseduh sendiri. Tak ada minuman lain. Dengan berat hati saya isi cangkir kosong. Amboi aromanya luar biasa.
Yang terjadi kemudian saya menghabiskan tiga cangkir kopi, tanpa perut saya merasa perih sedikit pun. Kopinya sangat enak, tidak menganggu maag saya. Inilah kopi paling enak yang pernah saya minum sepanjang usia saya.
Saya berusaha mencari kopi senikmat itu di mana pun saya sempat, tapi tak pernah saya dapatkan, juga tidak di Eropa misalnya. Saya penasaran, kenapa kopi di STB bisa seenak itu? Tapi sesungguhnya tak saya pikirkan benar.
Pekan lalu saya membeli buku berjudul The Starbucks Exprerience, sebuah buku yang membeberkan kesuksesan paripurna dari sebuah bisnis minuman kopi. Perusahaan ini awalnya punya satu kedai kecil di Amerika tapi kemudian menggurita ke seluruh dunia. Jika 1987 perusahaan ini punya karyawan 100 orang menjadi 100 ribu orang pada tahun 2006. Karyawan Starbucks memiliki kepuasan bekerja mencapai 82 persen, padahal di perusahaan terkemuka dunia lainnya yang disebut sangat nyaman, kepuasan hanya 74 persen dan 50 persen di perusahaan yang digelari ‘tempat terbaik untuk bekerja’. Tapi, ketika saya minum kopi di Starbucks, rasa kopinya biasa-biasa saja, pelayanannya juga.
Tentu saja saya bisa disebut gila, jika ingin menjual minuman kahwa dan bercita-cita sehebat Starbucks. Cuma saja saya kagum dengan Starbucks karena bisa menjadikan kopi, minuman biasa-biasa saja menjadi bisnis yang dahsyat.
Saya juga kagum dengan nenek saya yang bisa membuat kahwa untuk keluarga kami dan selalu enak. Saya mengenangnya sepanjang masa. Mengenang sepanjang masa itulah yang dilakukan Starbucks. Perusahaan ini selalu menghargai selera orang perorang yang unik, sehingga pelanggan menjadikan gerai kopi itu sebagai rumah ketiga setelah kantor dan rumahnya sendri.
Secangkir kopi adalah sejarah panjang, sejarah umat manusia. Secangkir kopi adalah peradaban. Juga cinta kasih. Suami-istri bisa bercerai karena kopi. Sebenarnya bukan karena kopi, tapi karena sebab lain. Mungkin engak, mungkin bosan, jengkel atau bahkan muak atau karena tak pandai mengayuh biduk rumahtangga.
Secangkir kopi, seperti juga halnya teh tak jauh-jauh dari kita, karena itu kita sering tak peduli. Apa adanya saja.
Dan suatu sore yang indah di sebuah gerai Starbucks di Jakarta saya menikmati secangkir kopi sambil menikmati sebatang rokok. Saya teringat masa kecil di kampung, ketika pagi-pagi sekali menikmati setempurung air kahwa yang hangat dengan rebus ubi yang juga hangat.
Tak lama kemudian saya menuju sawah, betis saya basah oleh embun yang tersisa di rumput pematang. Nanti sore, saya akan ke sawah lagi. Kali ini, memancing belut.
Ah, kalau menghayal bisa panjang. Tapi kopi sebenarnya adalah teman yang baik untuk menghayal. Maka karena oleh sebab itu, minumlah kopi! *
Saya meminum kahwa minimal 3 x sehari, selama 11 tahun tanpa henti. Kahwa adalah minuman khas orang Minang sejak kopi mulai berbuah di zaman tanam paksa. Buah kopinya untuk Belanda, daunnya untuk pribumi, maka kemudian lahirlah istilah ‘melayu kopidaun’. Daun disangai sedemikian rupa, kemudian diremas dan direbus. Airnya diminum. Enak selagi panas dan tentunya di pagi hari. Tanpa gula!
Ada air kahwa yang enak ada yang kelat, tergantung daun kopinya dan tergantung cara mengolahnya. Tapi, kahwa paling enak bagi saya, adalah buatan nenek saya. Suka-suka sayalah ya...
Setelah masuk sekolah menengah saya minum kahwa dua hari seminggu dan tetap minimal 3 x sehari. Setelah kuliah nyaris tidak pernah lagi. Nenek saya telah tiada dan membawa sejarah kahwa ke liang lahatnya. Semoga nenek saya berbahagia di alam barzah.
Saya tak hanya dekat dengan kahwa, tapi juga dengan kopi. Di kampung kami punya parak kopi tua. Entah siapa yang menanam, kami tinggal memetik saja. Batangnya tinggi-tinggi dan tak mudah patah. Memanjat pohon kopi sungguh enak, karena kita bisa pindah dari pohon yang satu ke pohon yang lain, seperti kera. Tapi saya tak pandai benar memanjat pohon dan memetik buahnya. Bagi orang dapat sekembut, bagi saya setengah kembut saja. Kopi dan kulit manis adalah bagian dari sejarah kehidupan dan intelektual saya.
Beberapa tahun silam, saya menderita maag akut. Minum kopi seteguk saja, perut saya langsung perih. Saya stop minum kopi.
Tapi saya tak bisa menghindar minum kopi ketika melakukan perjalanan jurnalistik ke Singapura dan harus mampir ke Singapore Tourism Bord (STB). Di sana rombongan disuguhi kopi, diseduh sendiri. Tak ada minuman lain. Dengan berat hati saya isi cangkir kosong. Amboi aromanya luar biasa.
Yang terjadi kemudian saya menghabiskan tiga cangkir kopi, tanpa perut saya merasa perih sedikit pun. Kopinya sangat enak, tidak menganggu maag saya. Inilah kopi paling enak yang pernah saya minum sepanjang usia saya.
Saya berusaha mencari kopi senikmat itu di mana pun saya sempat, tapi tak pernah saya dapatkan, juga tidak di Eropa misalnya. Saya penasaran, kenapa kopi di STB bisa seenak itu? Tapi sesungguhnya tak saya pikirkan benar.
Pekan lalu saya membeli buku berjudul The Starbucks Exprerience, sebuah buku yang membeberkan kesuksesan paripurna dari sebuah bisnis minuman kopi. Perusahaan ini awalnya punya satu kedai kecil di Amerika tapi kemudian menggurita ke seluruh dunia. Jika 1987 perusahaan ini punya karyawan 100 orang menjadi 100 ribu orang pada tahun 2006. Karyawan Starbucks memiliki kepuasan bekerja mencapai 82 persen, padahal di perusahaan terkemuka dunia lainnya yang disebut sangat nyaman, kepuasan hanya 74 persen dan 50 persen di perusahaan yang digelari ‘tempat terbaik untuk bekerja’. Tapi, ketika saya minum kopi di Starbucks, rasa kopinya biasa-biasa saja, pelayanannya juga.
Tentu saja saya bisa disebut gila, jika ingin menjual minuman kahwa dan bercita-cita sehebat Starbucks. Cuma saja saya kagum dengan Starbucks karena bisa menjadikan kopi, minuman biasa-biasa saja menjadi bisnis yang dahsyat.
Saya juga kagum dengan nenek saya yang bisa membuat kahwa untuk keluarga kami dan selalu enak. Saya mengenangnya sepanjang masa. Mengenang sepanjang masa itulah yang dilakukan Starbucks. Perusahaan ini selalu menghargai selera orang perorang yang unik, sehingga pelanggan menjadikan gerai kopi itu sebagai rumah ketiga setelah kantor dan rumahnya sendri.
Secangkir kopi adalah sejarah panjang, sejarah umat manusia. Secangkir kopi adalah peradaban. Juga cinta kasih. Suami-istri bisa bercerai karena kopi. Sebenarnya bukan karena kopi, tapi karena sebab lain. Mungkin engak, mungkin bosan, jengkel atau bahkan muak atau karena tak pandai mengayuh biduk rumahtangga.
Secangkir kopi, seperti juga halnya teh tak jauh-jauh dari kita, karena itu kita sering tak peduli. Apa adanya saja.
Dan suatu sore yang indah di sebuah gerai Starbucks di Jakarta saya menikmati secangkir kopi sambil menikmati sebatang rokok. Saya teringat masa kecil di kampung, ketika pagi-pagi sekali menikmati setempurung air kahwa yang hangat dengan rebus ubi yang juga hangat.
Tak lama kemudian saya menuju sawah, betis saya basah oleh embun yang tersisa di rumput pematang. Nanti sore, saya akan ke sawah lagi. Kali ini, memancing belut.
Ah, kalau menghayal bisa panjang. Tapi kopi sebenarnya adalah teman yang baik untuk menghayal. Maka karena oleh sebab itu, minumlah kopi! *
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Search
Popular Posts
-
Di pinggang malam, karum jam naik, kami turun ke ruang pracetak. Di dada malam, mesin bergemuruh mencetak huruf demi huruf. Di rumahnya, re...
-
HAWAII – Saya di Honolulu, Hawaii sekarang. Sejak berangkat Senin (6/4) sudah dilewati siang dan malam, sesampai di sini malah masih Senin...
-
Ini bukan untuk gagah-gagahan, tapi mencoba berkontribusi lebih banyak lagi bagi kepentingan umum. Apa itu? Forum Editor! Forum Editor a...
-
Prof Jan Romain pada tahun 1953 menulis sebuah buku — sebenarnya materi perkuliahannya di Universitas Gadjah Mada — berjudul “Aera Eropa.” ...
-
Ini lagu Minang, “Dikijoknyo Den,” lalu oleh Upiak Isil didendangkan dalam bahasa Indonesia, maka jadilah lagu itu, “Dikedipnya Aku.” Lagu ...
-
Khairul Jasmi ”Georgia,” anak saya, Jombang Santani Khairen menjawab dengan tangkas, tatkala pembawa acara di RCTI Tamara Geraldine mengaj...
-
Khairul Jasmi Sekolah sejak dari TK -- sebenarnya TK bukan sekolah dan saya tak pernah masuk TK -- sampai perguruan tinggi, adalah perjalana...
-
Sarawa hawaii adalah celana pendek selutut atau di atasnya lagi, pakai kajai di pinggangnya. Ciri khasnya warna-warni. Tak saya temukan k...
-
Malam sebentar lagi larut, tapi Payakumbuh semakin ramai. Sepanjang jalan nan lurus pedagang kaki lima berderet rapi. Cahaya lampu dari gero...
-
NARITA – Pada subuh yang tak terasa seperti subuh, saya menunaikan salat di ruang tunggu bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Senin (6/4) ini ...

Categories
- Berita ( 2 )
- Jalan-jalan ( 5 )
- Komentar ( 33 )
- Opini ( 20 )
- Tulisan ( 21 )
- Wasit Garis ( 112 )

Blog Archive
-
▼
2011
(
95
)
-
▼
Januari
(
69
)
- Payakumbuh
- Tamara Geraldine
- Telepon Genggam
- SMA 1 Padang
- Jakarta
- Permen
- Masakan Padang
- Merdeka
- Bahasa Minang Indonesia II
- Meja Makan
- Maling
- Makan Siang
- Kelulusan dan Pelepasan
- Negeri Lucu, Negeri Selingkuh
- Melirik
- Entah Luna Maya
- Mari Berdendang
- Kursi Nomor 1
- Takbir
- Kunci Rumah
- Korek Api
- Secangkir Kopi
- Koin Cinta
- King
- Bunker Kiamat
- Bisnis Restoran
- Pendidikan Karakter
- Was-was
- Jujai
- Jengkol
- Jam Gadang
- Jalan Berlobang
- Jakarta
- Hati yang Gembira
- Sit Ball
- Ikan Padang
- Ide
- Masakan Ibu
- Ulangtahun
- Hujan sekarang agak pamberang dibanding hujan saat...
- Pemilihan Gubernur
- Gusi Mobil
- Gubernur
- Calon Gubernur
- Recovery Pascagempa
- Gelap
- Gampo
- Aera Eropa
- Diniyyah Putri
- Cinta
- Cerita Pendek
- Cerai Politik
- Caleg ATM
- Berbunga-bunga
- Bom
- Novel Asrama Bidadari
- Berita Kecil
- Di Rumah, Tidur, Sendiri
- Bambu Illegal Logging
- Bahasa Minang Indonesia
- Awan dan Langit
- Avanza
- Antre di Bank
- Antasari Azhar
- Anggi
- Lembah Anai
- Politik Rasionalitas
- 100 Hari Pascagempa
- Sinisme Politik
-
▼
Januari
(
69
)

0 komentar :
Posting Komentar