On
1/31/2011 03:39:00 AM
by
Khairul Jasmi
in
Wasit Garis
No comments
Khairul Jasmi
Ayem lisening to ze radio, no hi izen, hiis meking ekei, no fren setenekaik, yes denjer cuklisatblakmon, ana azhabu ilalmadrasah tudai, bikous aimreding sang kancil.
Seorang anak SD membaca ini sambil jingkrak-jingkrak di hadapan saya. Itu terjadi sekitar 30 tahun silam. Yang ia sebut itu ucapan bahasa Inggris yang centang-perenang, yang entah ia dengar di mana, sedikit bahasa Arab, lalu kemudian ia menciracau seenak perutnya. Karena hal itu ia ucapkan setiap bertemu saya, selama bertahun-tahun, akibatnya saya justru hafal pula.
Sambil berucap demikian, kadang-kadang ia mendengung bagai lembah, lalu merendahkan dirinya ke salah satu arah, bagai pengendara motor di bengkolan, selanjutnya lari sekencang-kencangnya. Ia terkekeh, saya juga terkekeh.
Hal yang hampir mirip terjadi pula kemudian, tatkala saya dan Prof. James Hallyward berkesempatan ke beberapa negara Eropa belum lama berselang. Profesor yang satu ini, tentu lebih hebat bahasa asingnya dari saya. Ia pintar Inggris, Spanyol dan beberapa bahasa asing lagi. Namun ketika membaca beberapa pemberitahuan di pinggir jalan di Amsterdam, kami sama-sama terkekeh.
Misalnya ada dalam bahas Belanda ‘anjing dilarang lewat’, kami baca baik-baik. Tak lama kemudian kami terkekah dan kami buatlah istilah baru, verboden for honden (mungkin yang benar honde zijn verboden). ‘Dilarang merokok’, kami ganti lagi dengan verboden for roken (yang benar mungkin niet roken). Lalu di Padang, kalau bertemu kami selalu menyapa dengan cara demikian, tentunya sambil terkekeh.
“Haa baa verboden for roken tu?
“Kanai korting,” jawab saya. Ia juga terkekeh, karena kata-kata korting kami temukan berserak-serak di pintu toko di Belanda.
Kemudian saya juga menemukan pemakaian bahasa Inggris yang salah di banyak angkot di Padang. Tapi, meski salah, pesan telah sampai.
Menurut Mister Kocnoi — saya menyapanya begitu — guru les bahasa Inggris di Padang, yang penting dalam bahasa Inggris duduak dulu paretongannya, duduak bola tu . “Sit ball”, kalau sudah begitu, lambut saja, jangan hiraukan susunan dan aturan tata bahasanya. Nanti setelah bisa baru perlahan diperbaiki.
Ini tak hanya berlaku dalam bahasa Inggris, dalam bahasa Indonesia juga begitu. Suatu ketika dulu, seorang perantau pulang ke kampung. “Ya nanti saya makan, tapi sambalnya jangan yang bersala-sala, tidak suka saya, lada huwap saja tambah sambal lada tulang,” katanya. Meski untuk beberapa kata salah, tapi orang sudah mengerti.
Ketika lain, seorang teman saya sesama SD, menunjuk saat ditanya guru untuk soal pilihan berganda. Ia menjawab: Beruk itu mambur! Maksudnya beruk itu melompat.
Pada saat lain, saya dan teman wartawan Deni Risman melakukan perjalanan jurnalistik ke Thailand. Kami tak pandai bahasa Thailand, mereka juga tak bisa bahasa Indonesia. Bahasa Inggris? Podo, sama-sama hengak kedua belah pihak. Waktu kami membeli sebuah tas, tak ada percakapan, yang ada bahasa isyarat atau yang lebih kami kenal dengan bahasa tarzan. Tapi jual beli berjalan lancar.
Karena itu, bahasa sebenarnya adalah alat berkomunikasi, tak benar ucapannya tidak ada masalah, asal orang lain bisa mengerti. Kelemahan pembelajaran bahasa Inggris di sekolah pada angkatan saya justru kami diajari tata bahasa, bukan percakapan. *
Ayem lisening to ze radio, no hi izen, hiis meking ekei, no fren setenekaik, yes denjer cuklisatblakmon, ana azhabu ilalmadrasah tudai, bikous aimreding sang kancil.
Seorang anak SD membaca ini sambil jingkrak-jingkrak di hadapan saya. Itu terjadi sekitar 30 tahun silam. Yang ia sebut itu ucapan bahasa Inggris yang centang-perenang, yang entah ia dengar di mana, sedikit bahasa Arab, lalu kemudian ia menciracau seenak perutnya. Karena hal itu ia ucapkan setiap bertemu saya, selama bertahun-tahun, akibatnya saya justru hafal pula.
Sambil berucap demikian, kadang-kadang ia mendengung bagai lembah, lalu merendahkan dirinya ke salah satu arah, bagai pengendara motor di bengkolan, selanjutnya lari sekencang-kencangnya. Ia terkekeh, saya juga terkekeh.
Hal yang hampir mirip terjadi pula kemudian, tatkala saya dan Prof. James Hallyward berkesempatan ke beberapa negara Eropa belum lama berselang. Profesor yang satu ini, tentu lebih hebat bahasa asingnya dari saya. Ia pintar Inggris, Spanyol dan beberapa bahasa asing lagi. Namun ketika membaca beberapa pemberitahuan di pinggir jalan di Amsterdam, kami sama-sama terkekeh.
Misalnya ada dalam bahas Belanda ‘anjing dilarang lewat’, kami baca baik-baik. Tak lama kemudian kami terkekah dan kami buatlah istilah baru, verboden for honden (mungkin yang benar honde zijn verboden). ‘Dilarang merokok’, kami ganti lagi dengan verboden for roken (yang benar mungkin niet roken). Lalu di Padang, kalau bertemu kami selalu menyapa dengan cara demikian, tentunya sambil terkekeh.
“Haa baa verboden for roken tu?
“Kanai korting,” jawab saya. Ia juga terkekeh, karena kata-kata korting kami temukan berserak-serak di pintu toko di Belanda.
Kemudian saya juga menemukan pemakaian bahasa Inggris yang salah di banyak angkot di Padang. Tapi, meski salah, pesan telah sampai.
Menurut Mister Kocnoi — saya menyapanya begitu — guru les bahasa Inggris di Padang, yang penting dalam bahasa Inggris duduak dulu paretongannya, duduak bola tu . “Sit ball”, kalau sudah begitu, lambut saja, jangan hiraukan susunan dan aturan tata bahasanya. Nanti setelah bisa baru perlahan diperbaiki.
Ini tak hanya berlaku dalam bahasa Inggris, dalam bahasa Indonesia juga begitu. Suatu ketika dulu, seorang perantau pulang ke kampung. “Ya nanti saya makan, tapi sambalnya jangan yang bersala-sala, tidak suka saya, lada huwap saja tambah sambal lada tulang,” katanya. Meski untuk beberapa kata salah, tapi orang sudah mengerti.
Ketika lain, seorang teman saya sesama SD, menunjuk saat ditanya guru untuk soal pilihan berganda. Ia menjawab: Beruk itu mambur! Maksudnya beruk itu melompat.
Pada saat lain, saya dan teman wartawan Deni Risman melakukan perjalanan jurnalistik ke Thailand. Kami tak pandai bahasa Thailand, mereka juga tak bisa bahasa Indonesia. Bahasa Inggris? Podo, sama-sama hengak kedua belah pihak. Waktu kami membeli sebuah tas, tak ada percakapan, yang ada bahasa isyarat atau yang lebih kami kenal dengan bahasa tarzan. Tapi jual beli berjalan lancar.
Karena itu, bahasa sebenarnya adalah alat berkomunikasi, tak benar ucapannya tidak ada masalah, asal orang lain bisa mengerti. Kelemahan pembelajaran bahasa Inggris di sekolah pada angkatan saya justru kami diajari tata bahasa, bukan percakapan. *
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Search
Popular Posts
-
Ini bukan untuk gagah-gagahan, tapi mencoba berkontribusi lebih banyak lagi bagi kepentingan umum. Apa itu? Forum Editor! Forum Editor a...
-
Khairul Jasmi Di Padang saat ini banyak benar jalan berlobang. Jika tak berlobang, aspalnya terkelupas. Kondisi jalan yang buruk menyebabk...
-
Saya naik pesawat Susi Air dari Simpang Empat ke BIM, begitu mendarat saya sudah ketinggalan siaran langsung pengumuman kabinet oleh Preside...
-
Di pinggang malam, karum jam naik, kami turun ke ruang pracetak. Di dada malam, mesin bergemuruh mencetak huruf demi huruf. Di rumahnya, re...
-
Besi tua, jejak sejarah, eksotik, unik, pabrik indah : indarung 1 Fotografer by : Yosfiandri
-
Ini lagu Minang, “Dikijoknyo Den,” lalu oleh Upiak Isil didendangkan dalam bahasa Indonesia, maka jadilah lagu itu, “Dikedipnya Aku.” Lagu ...
-
Di sebuah rumah minimalis, tinggal sebuah keluarga kecil. Papa, mama dan tiga anak. Anak-anaknya diajari berbahasa Indonesia sejak kecil. Di...
-
Forum pemred indonesia bersama menkeu Sri Mulyani. Saya menyampaikan Tax pasar semen yang mesti digejot, pestisida yang mahal karena impor, ...
-
Ini malam bainai, dipahat sambil main pedang. dari Batam terus ke Dumai, melihat Semen Padang.
Recent Posts
Categories
- Berita ( 2 )
- Jalan-jalan ( 5 )
- Komentar ( 33 )
- Opini ( 20 )
- Tulisan ( 21 )
- Wasit Garis ( 112 )
Sample Text
Blog Archive
-
▼
2011
(
95
)
-
▼
Januari
(
69
)
- Payakumbuh
- Tamara Geraldine
- Telepon Genggam
- SMA 1 Padang
- Jakarta
- Permen
- Masakan Padang
- Merdeka
- Bahasa Minang Indonesia II
- Meja Makan
- Maling
- Makan Siang
- Kelulusan dan Pelepasan
- Negeri Lucu, Negeri Selingkuh
- Melirik
- Entah Luna Maya
- Mari Berdendang
- Kursi Nomor 1
- Takbir
- Kunci Rumah
- Korek Api
- Secangkir Kopi
- Koin Cinta
- King
- Bunker Kiamat
- Bisnis Restoran
- Pendidikan Karakter
- Was-was
- Jujai
- Jengkol
- Jam Gadang
- Jalan Berlobang
- Jakarta
- Hati yang Gembira
- Sit Ball
- Ikan Padang
- Ide
- Masakan Ibu
- Ulangtahun
- Hujan sekarang agak pamberang dibanding hujan saat...
- Pemilihan Gubernur
- Gusi Mobil
- Gubernur
- Calon Gubernur
- Recovery Pascagempa
- Gelap
- Gampo
- Aera Eropa
- Diniyyah Putri
- Cinta
- Cerita Pendek
- Cerai Politik
- Caleg ATM
- Berbunga-bunga
- Bom
- Novel Asrama Bidadari
- Berita Kecil
- Di Rumah, Tidur, Sendiri
- Bambu Illegal Logging
- Bahasa Minang Indonesia
- Awan dan Langit
- Avanza
- Antre di Bank
- Antasari Azhar
- Anggi
- Lembah Anai
- Politik Rasionalitas
- 100 Hari Pascagempa
- Sinisme Politik
-
▼
Januari
(
69
)
0 komentar :
Posting Komentar