On
1/31/2011 03:56:00 AM
by
Khairul Jasmi
in
Wasit Garis
No comments
Khairul Jasmi
Saya merasa ciut melihat betapa hebatnya alumni SMA 1 Padang, bak bumi dengan langit jika dibading dengan alumni sekolah saya. SMA 1 Padang doeloe adalah Europeesche Lagere School (ELS) dibangun 1917, sekolah menangah atas untuk anak-anak Belanda. Saya belajar di Sekolah Guru (SPG) Padang Panjang didirikan sezaman dengan ELS, namanya Noormal School (NS). Kampus NS tidak tertandingi oleh sekolah Belanda manapun di Minangkabau. Luas, bangunannya kokoh dengan jendela-jendela tegak tinggi. Ruang kelasnya lapang. Halaman depannya hampir sebesar lapangan bolakaki. Jalan di dalam kampus berkerikil putih, di sisi berdiri pohon mahoni tua. Ada ruang serbaguna, ada aula, ada ruangan olahraga, ada ruangan musik, ada studio, ada ruang pekerjaan tangan. Bunga-bunga tumbuh berwarna-warni. Di belakang sekolah, sama besarnya dengan sekolah itu, berdiri asrama putri dan rumah para guru.
Lalu, waktu pun berjalan. Zaman berubah, SPG ditutup. Guru tak perlu lagi belajar psikologi, tak perlu pedagogik, tak perlu mata pelajaran penguasaan kelas, tak penting metode pendidikan. Gedung peninggalan Belanda itu, kemudian menjadi SMA 1 Padang Panjang.
Ketika ribut-ribut relokasi SMA 1 Padang, ingatan saya terseret ke sekolah saya itu. Rasa-rasanya sekolah saya hebat juga peninggalan sejarahnya, apalagi itu sekolah pribumi, bukan untuk anak-anak Belanda. Kemajuan pendidikan di Minangkabau sesungguhnya bukan karena adanya sekolah untuk anak-anak Belanda, tapi karena kesadaran akan arti penting ilmu pengetahuan yang tumbuh di dada anak-anaknya. Sekolah pribumi dan sekolah Belanda adalah pemisah nasib dan masa depan.
Keributan di SMA 1 itu, menyadarkan saya bahwa persepsi tiap orang tentang sekolahnya, tidaklah sama dengan baju segaram yang ia pakai ketika jadi siswa dulu. Relokasi SMA 1 ke tempat lain yang diroptes bahkan memakai spanduk segala, dipuji banyak pihak, sekaligus dicaci. Ada yang menilai, tingkat kehebatan alumni SMA 1 jatuh ke titik nadir karena spanduk itu. Orang-orang berpendidikan tinggi, seharusnya tidak memakai cara-cara jalanan untuk memrotes sesuatu, tapi pasti bisa lebih elegan, dewasa dan bermartabat.
Tapi, mungkin penilaian itu salah. Sebab menurut sejumlah alumni kepada saya, alumni SMA 1 Padang terbagi dua. Pertama yang tradisional, kedua yang moderat.
Mereka yang tradisional, mementingkan nostalgia, mengenang kala dulu berjalan di koridor sekolah saat hujan gerimis turun, lalu meninggalkan sekolah bersama buah hati di bawah payung warna biru. Mereka teringat tulisan-tulisan nakal di dinding kelas, teringat makan bersama di kafe dan rindu sama teman-teman remaja dulu. Apapun alasannya, SMA 1 tak boleh dianjak, harga mati. Pokoknya tidak, sejarah, kenangan, kebangaan kota, segalanya ada di situ. Filmnya Gita Cinta dari SMA.
Kelompok kedua yang moderat, mereka memandang ke depan, memikirkan bagaimana adik-adik, anak-anaknya yang sekarang belajar di SMA 1 Padang, dipaksa harus puas dengan kebangaan semu: Sejarah! Padahal, kata mereka, dunia pendidikan berjalan amat cepat. Sekolah harus necis, nyaman, senyaman rumah sendiri. Ada lapangan bermain, ada ruangan yang cukup, tidak bergedincik di tempat yang sempit, bak menumpang di rumah orang lain, apalagi sebagaimana keluhan siswa SMA 1 sekarang, tiap olahraga mereka menumpang ke tempat lain. Karena itu, alumni moderat ini ingin SMA 1 harus sehebat ELS doeloe. Di zamannya ELS adalah sekolah yang luas dan punya fasilitas yang lengkap. Tapi, kini, kampus itu sudah terjepit oleh kota yang serakah.
Kelompok moderat ingin SMA 1 itu benar-benar nomor 1, nyaman dan membanggakan anak-anak yang masuk ke sana. Sekarang? SMA 1 itu hebat bukan karena sejarahnya, bukan karena gedungnya, tapi karena kebijakan pemerintah yang menempatkan guru-guru hebat di sana, seleksinya ketat, nilai anak yang masuk harus tinggi. Jika misalnya, guru-guru hebat itu dipindahkan ke SMA lain, standar nilai masuk ke SMA 1 diganti atau diturunkan, apa yang terjadi?
Atau yang lebih landai, sekolah lain ditumbuhkan pula dengan baik, dengan merekrut guru hebat dan standar nilai masuk ditingkatkan, maka SMA 1 mendapat saingan. Itu sudah dibuktikan, SMA 10 Padang melejit. Kini, SMA 1 dan SMA 10 Padang bersaing ketat bagai motor merek Honda dan Yamaha, bagai kacang Garuda dan Dua Kelinci, bagai MetroTV dan TVOne. Keunggulan, kehebatan, bukan monopoli salah satu pihak. Itu sangat bagus bagi dunia pendidikan di Sumatra Barat dan Padang khususnya.
Karena dua pendapat itu — tradisional dan moderat — tumbuh dan diyakini oleh masing-masing alumni, maka biasanya dalam sebuah pertemuan, perdebatan, musyawarah, salah satu akan menerima pendapat pihak lain. Saya justru berasumsi, mereka akan sepakat mengambil kesimpulan yang kira-kira begini:
Bersedia direkolasi, asal ke tempat yang aman dari tsunami, kalau tak bisa, pilihlah lokasi yang luas. Menyerahkan kepada pemerintah dan DPRD Padang, terserah mau di mana, asal sekolah baru jauh lebih bagus dan fasilitas lengkap dan SMA 1 sekarang tidak dijadikan mall, tidak diserahkan kepada swasta dengan cara tukar guling. Bersedia pindah asal gedung SMA 1 dijadikan museum pendidikan atau pustaka. Lalu, para alumni itu diminta oleh pengurusnya badoncek, terbayang angka Rp23 miliar, tapi angka itu tak pernah bisa tercapai.
SMA 1 itu, bagian dari gedung cagar budaya yang dilundungi undang-undang, karena itu, menurut saya, akan ada kebijakan khusus dari pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi. Bisa jadi, SMA 1 dan SMP 1 dijadikan satu kampus. Bukankah SMP 1 adalah juga sekolah bersejarah yang tak kalah hebatnya dari SMA 1? Jika begitu, di lokasi sekarang, bisa hanya akan ada SMP 1 atau hanya ada SMA 1 saja dan salah satunya direlokasi.
Suara alumni perlu didengar, tapi suara alumni itu sebaiknya tidak diwarnai musik politik, sebagaimana yang terdengar sekarang. Suara alumni SMA 1 adalah suara orang-orang hebat, karena itu nadanya juga harus hebat. Jujur saja, suara alumni SMA 1 saat ini, tak bernada, malah membuat orang terheran-heran.
Khalayak menunggu, bagaimana siswa SMA 1 bisa belajar dengan tenang di sekolah yang rancak dan tidak was-was. Soal sejarah? Pelajaran pertama saya di bangku kuliah jurusan sejarah adalah: Sejarah yang benar adalah sejarah masa kini. *
Saya merasa ciut melihat betapa hebatnya alumni SMA 1 Padang, bak bumi dengan langit jika dibading dengan alumni sekolah saya. SMA 1 Padang doeloe adalah Europeesche Lagere School (ELS) dibangun 1917, sekolah menangah atas untuk anak-anak Belanda. Saya belajar di Sekolah Guru (SPG) Padang Panjang didirikan sezaman dengan ELS, namanya Noormal School (NS). Kampus NS tidak tertandingi oleh sekolah Belanda manapun di Minangkabau. Luas, bangunannya kokoh dengan jendela-jendela tegak tinggi. Ruang kelasnya lapang. Halaman depannya hampir sebesar lapangan bolakaki. Jalan di dalam kampus berkerikil putih, di sisi berdiri pohon mahoni tua. Ada ruang serbaguna, ada aula, ada ruangan olahraga, ada ruangan musik, ada studio, ada ruang pekerjaan tangan. Bunga-bunga tumbuh berwarna-warni. Di belakang sekolah, sama besarnya dengan sekolah itu, berdiri asrama putri dan rumah para guru.
Lalu, waktu pun berjalan. Zaman berubah, SPG ditutup. Guru tak perlu lagi belajar psikologi, tak perlu pedagogik, tak perlu mata pelajaran penguasaan kelas, tak penting metode pendidikan. Gedung peninggalan Belanda itu, kemudian menjadi SMA 1 Padang Panjang.
Ketika ribut-ribut relokasi SMA 1 Padang, ingatan saya terseret ke sekolah saya itu. Rasa-rasanya sekolah saya hebat juga peninggalan sejarahnya, apalagi itu sekolah pribumi, bukan untuk anak-anak Belanda. Kemajuan pendidikan di Minangkabau sesungguhnya bukan karena adanya sekolah untuk anak-anak Belanda, tapi karena kesadaran akan arti penting ilmu pengetahuan yang tumbuh di dada anak-anaknya. Sekolah pribumi dan sekolah Belanda adalah pemisah nasib dan masa depan.
Keributan di SMA 1 itu, menyadarkan saya bahwa persepsi tiap orang tentang sekolahnya, tidaklah sama dengan baju segaram yang ia pakai ketika jadi siswa dulu. Relokasi SMA 1 ke tempat lain yang diroptes bahkan memakai spanduk segala, dipuji banyak pihak, sekaligus dicaci. Ada yang menilai, tingkat kehebatan alumni SMA 1 jatuh ke titik nadir karena spanduk itu. Orang-orang berpendidikan tinggi, seharusnya tidak memakai cara-cara jalanan untuk memrotes sesuatu, tapi pasti bisa lebih elegan, dewasa dan bermartabat.
Tapi, mungkin penilaian itu salah. Sebab menurut sejumlah alumni kepada saya, alumni SMA 1 Padang terbagi dua. Pertama yang tradisional, kedua yang moderat.
Mereka yang tradisional, mementingkan nostalgia, mengenang kala dulu berjalan di koridor sekolah saat hujan gerimis turun, lalu meninggalkan sekolah bersama buah hati di bawah payung warna biru. Mereka teringat tulisan-tulisan nakal di dinding kelas, teringat makan bersama di kafe dan rindu sama teman-teman remaja dulu. Apapun alasannya, SMA 1 tak boleh dianjak, harga mati. Pokoknya tidak, sejarah, kenangan, kebangaan kota, segalanya ada di situ. Filmnya Gita Cinta dari SMA.
Kelompok kedua yang moderat, mereka memandang ke depan, memikirkan bagaimana adik-adik, anak-anaknya yang sekarang belajar di SMA 1 Padang, dipaksa harus puas dengan kebangaan semu: Sejarah! Padahal, kata mereka, dunia pendidikan berjalan amat cepat. Sekolah harus necis, nyaman, senyaman rumah sendiri. Ada lapangan bermain, ada ruangan yang cukup, tidak bergedincik di tempat yang sempit, bak menumpang di rumah orang lain, apalagi sebagaimana keluhan siswa SMA 1 sekarang, tiap olahraga mereka menumpang ke tempat lain. Karena itu, alumni moderat ini ingin SMA 1 harus sehebat ELS doeloe. Di zamannya ELS adalah sekolah yang luas dan punya fasilitas yang lengkap. Tapi, kini, kampus itu sudah terjepit oleh kota yang serakah.
Kelompok moderat ingin SMA 1 itu benar-benar nomor 1, nyaman dan membanggakan anak-anak yang masuk ke sana. Sekarang? SMA 1 itu hebat bukan karena sejarahnya, bukan karena gedungnya, tapi karena kebijakan pemerintah yang menempatkan guru-guru hebat di sana, seleksinya ketat, nilai anak yang masuk harus tinggi. Jika misalnya, guru-guru hebat itu dipindahkan ke SMA lain, standar nilai masuk ke SMA 1 diganti atau diturunkan, apa yang terjadi?
Atau yang lebih landai, sekolah lain ditumbuhkan pula dengan baik, dengan merekrut guru hebat dan standar nilai masuk ditingkatkan, maka SMA 1 mendapat saingan. Itu sudah dibuktikan, SMA 10 Padang melejit. Kini, SMA 1 dan SMA 10 Padang bersaing ketat bagai motor merek Honda dan Yamaha, bagai kacang Garuda dan Dua Kelinci, bagai MetroTV dan TVOne. Keunggulan, kehebatan, bukan monopoli salah satu pihak. Itu sangat bagus bagi dunia pendidikan di Sumatra Barat dan Padang khususnya.
Karena dua pendapat itu — tradisional dan moderat — tumbuh dan diyakini oleh masing-masing alumni, maka biasanya dalam sebuah pertemuan, perdebatan, musyawarah, salah satu akan menerima pendapat pihak lain. Saya justru berasumsi, mereka akan sepakat mengambil kesimpulan yang kira-kira begini:
Bersedia direkolasi, asal ke tempat yang aman dari tsunami, kalau tak bisa, pilihlah lokasi yang luas. Menyerahkan kepada pemerintah dan DPRD Padang, terserah mau di mana, asal sekolah baru jauh lebih bagus dan fasilitas lengkap dan SMA 1 sekarang tidak dijadikan mall, tidak diserahkan kepada swasta dengan cara tukar guling. Bersedia pindah asal gedung SMA 1 dijadikan museum pendidikan atau pustaka. Lalu, para alumni itu diminta oleh pengurusnya badoncek, terbayang angka Rp23 miliar, tapi angka itu tak pernah bisa tercapai.
SMA 1 itu, bagian dari gedung cagar budaya yang dilundungi undang-undang, karena itu, menurut saya, akan ada kebijakan khusus dari pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi. Bisa jadi, SMA 1 dan SMP 1 dijadikan satu kampus. Bukankah SMP 1 adalah juga sekolah bersejarah yang tak kalah hebatnya dari SMA 1? Jika begitu, di lokasi sekarang, bisa hanya akan ada SMP 1 atau hanya ada SMA 1 saja dan salah satunya direlokasi.
Suara alumni perlu didengar, tapi suara alumni itu sebaiknya tidak diwarnai musik politik, sebagaimana yang terdengar sekarang. Suara alumni SMA 1 adalah suara orang-orang hebat, karena itu nadanya juga harus hebat. Jujur saja, suara alumni SMA 1 saat ini, tak bernada, malah membuat orang terheran-heran.
Khalayak menunggu, bagaimana siswa SMA 1 bisa belajar dengan tenang di sekolah yang rancak dan tidak was-was. Soal sejarah? Pelajaran pertama saya di bangku kuliah jurusan sejarah adalah: Sejarah yang benar adalah sejarah masa kini. *
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Search
Popular Posts
-
Ini bukan untuk gagah-gagahan, tapi mencoba berkontribusi lebih banyak lagi bagi kepentingan umum. Apa itu? Forum Editor! Forum Editor a...
-
Khairul Jasmi Di Padang saat ini banyak benar jalan berlobang. Jika tak berlobang, aspalnya terkelupas. Kondisi jalan yang buruk menyebabk...
-
Saya naik pesawat Susi Air dari Simpang Empat ke BIM, begitu mendarat saya sudah ketinggalan siaran langsung pengumuman kabinet oleh Preside...
-
Di pinggang malam, karum jam naik, kami turun ke ruang pracetak. Di dada malam, mesin bergemuruh mencetak huruf demi huruf. Di rumahnya, re...
-
Besi tua, jejak sejarah, eksotik, unik, pabrik indah : indarung 1 Fotografer by : Yosfiandri
-
Ini lagu Minang, “Dikijoknyo Den,” lalu oleh Upiak Isil didendangkan dalam bahasa Indonesia, maka jadilah lagu itu, “Dikedipnya Aku.” Lagu ...
-
Di sebuah rumah minimalis, tinggal sebuah keluarga kecil. Papa, mama dan tiga anak. Anak-anaknya diajari berbahasa Indonesia sejak kecil. Di...
-
Forum pemred indonesia bersama menkeu Sri Mulyani. Saya menyampaikan Tax pasar semen yang mesti digejot, pestisida yang mahal karena impor, ...
-
Ini malam bainai, dipahat sambil main pedang. dari Batam terus ke Dumai, melihat Semen Padang.
Recent Posts
Categories
- Berita ( 2 )
- Jalan-jalan ( 5 )
- Komentar ( 33 )
- Opini ( 20 )
- Tulisan ( 21 )
- Wasit Garis ( 112 )
Sample Text
Blog Archive
-
▼
2011
(
95
)
-
▼
Januari
(
69
)
- Payakumbuh
- Tamara Geraldine
- Telepon Genggam
- SMA 1 Padang
- Jakarta
- Permen
- Masakan Padang
- Merdeka
- Bahasa Minang Indonesia II
- Meja Makan
- Maling
- Makan Siang
- Kelulusan dan Pelepasan
- Negeri Lucu, Negeri Selingkuh
- Melirik
- Entah Luna Maya
- Mari Berdendang
- Kursi Nomor 1
- Takbir
- Kunci Rumah
- Korek Api
- Secangkir Kopi
- Koin Cinta
- King
- Bunker Kiamat
- Bisnis Restoran
- Pendidikan Karakter
- Was-was
- Jujai
- Jengkol
- Jam Gadang
- Jalan Berlobang
- Jakarta
- Hati yang Gembira
- Sit Ball
- Ikan Padang
- Ide
- Masakan Ibu
- Ulangtahun
- Hujan sekarang agak pamberang dibanding hujan saat...
- Pemilihan Gubernur
- Gusi Mobil
- Gubernur
- Calon Gubernur
- Recovery Pascagempa
- Gelap
- Gampo
- Aera Eropa
- Diniyyah Putri
- Cinta
- Cerita Pendek
- Cerai Politik
- Caleg ATM
- Berbunga-bunga
- Bom
- Novel Asrama Bidadari
- Berita Kecil
- Di Rumah, Tidur, Sendiri
- Bambu Illegal Logging
- Bahasa Minang Indonesia
- Awan dan Langit
- Avanza
- Antre di Bank
- Antasari Azhar
- Anggi
- Lembah Anai
- Politik Rasionalitas
- 100 Hari Pascagempa
- Sinisme Politik
-
▼
Januari
(
69
)
0 komentar :
Posting Komentar