On
1/31/2011 03:48:00 AM
by
Khairul Jasmi
in
Wasit Garis
No comments
Allahuakbar Allahuakbar.....
Selasa (9/12), sehari setelah Idul Adha, saya masuk kantor di Harian Singgalang, saat orang sudah Shalat Zuhur berjemaah di mushala bagian belakang kantor. Begitu saya duduk dan menyalakan komputer, terdengar suara takbir yang lazim dibaca saat hari raya.
Suaranya indah, mengalun, berpendar di ruangan redaksi. Saya bangga di kantor suratkabar ada mushala dan shalat berjemaah, tiap hari diikuti kuliah tujuh menit setiap Zuhur, meski saya sendiri sering lalai.
Takbir yang indah itu menyeret saya ke kampung ke masa kanak-kanak. Ketika lebaran tiba, saya berpakaian bagus, lalu berjalan di sisi kakek saya. Kami tinggal di lembah dengan air yang banyak. Sementara masjid ada di pusat kampung. Kakek meninggalkan suraunya kemudian menuju masjid. Mulai berjalan, kakek langsung takbir. Mula-mula hanya kakek dan saya, beberapa meter kemudian sudah ada yang mengiringi. Suara takbir makin ramai. Sepanjang jalan, ada kelompok-kelompok orang yang menunggu kakek, hanya untuk berjalan beriringan dan membaca takbir bersama-sama.
Dari arah lain, beberapa guru mengaji, haji, ulama lainnya juga diiringi oleh rombongan, mereka berjalan serentak dengan suara takbir yang menggema. Tiap kelompok membawakan takbir. Indah sekali. Indah, karena saya ada di antara orang-orang yang membaca takbir dengan suara lepas.
Tapi lama kemudian, rombongan-rombongan itu sudah tidak ada lagi. Orang tak membaca takbir lagi jika berjalan ke masjid kalau hendak shalat hari raya. Mereka hanya berjalan sendiri-sendiri. takbir hanya ada di dalam masjid. Entah kalau sekarang, saya tak tahu lagi, karena jarang lebaran di kampung, hanyut dibawa untung.
Lalu, kemudian dan kemudian, di mana-mana, di kota, di desa-desa yang saya dengar lebih banyak kaset takbir. Kaset dengan suara indah berkumandang di puncak-puncak masjid, menyapa angkasa, menyapu jauh ke kaki-kaki bukit.
Makin lama, kaset makin beragam, malah kemudian ada video takbir. Makin meriah. Rumah penduduk riuh-rendah oleh takbir dari rekaman itu. Suara nan indah tak tertandingi.
Tapi, seperti ada yang lenyap. Sepi. Sepi menyelimuti, bibir terasa kelu. Ada yang terasa kian jauh, direnggutkan oleh kemajuan zaman. Orang masih tetap mengumandangkan takbir, tapi dengan suara alakadarnya. Antara iya dan tidak saja.
Tapi biarlah, zaman sudah berubah. Bagi saya lebaran tak ada yang seindah masa kecil dulu dan itu di kampung. Entah mana yang indah, Idul Fitri atau Idul Adha.
Kalau Idul Fitri, ramainya bukan main, tiap rumah tiap singgah, tiap singgah tiap makan, paling tidak makan galamai. Rumah dunsanak, rumah bako, tak bisa tidak harus didatangi. Apalagi ada baju baru.
Idul Adha, tak sesibuk itu, tapi saya kenyang oleh daging kurban, sebab kakek saya dan jemaahnya membantai beberapa ekor sapi. Tapi masa itu hanya sebentar, karena kakek meninggal dunia.
Lalu kini, Idul Fitri dan Idul Adha tetap meriah di hati saya. Bedanya, dulu saya kanak-kanak, kini bapak orang. Kalau lebaran, yang kasak-kusuk mencari kaset takbiran justru saya. Betapa naifnya! *
Selasa (9/12), sehari setelah Idul Adha, saya masuk kantor di Harian Singgalang, saat orang sudah Shalat Zuhur berjemaah di mushala bagian belakang kantor. Begitu saya duduk dan menyalakan komputer, terdengar suara takbir yang lazim dibaca saat hari raya.
Suaranya indah, mengalun, berpendar di ruangan redaksi. Saya bangga di kantor suratkabar ada mushala dan shalat berjemaah, tiap hari diikuti kuliah tujuh menit setiap Zuhur, meski saya sendiri sering lalai.
Takbir yang indah itu menyeret saya ke kampung ke masa kanak-kanak. Ketika lebaran tiba, saya berpakaian bagus, lalu berjalan di sisi kakek saya. Kami tinggal di lembah dengan air yang banyak. Sementara masjid ada di pusat kampung. Kakek meninggalkan suraunya kemudian menuju masjid. Mulai berjalan, kakek langsung takbir. Mula-mula hanya kakek dan saya, beberapa meter kemudian sudah ada yang mengiringi. Suara takbir makin ramai. Sepanjang jalan, ada kelompok-kelompok orang yang menunggu kakek, hanya untuk berjalan beriringan dan membaca takbir bersama-sama.
Dari arah lain, beberapa guru mengaji, haji, ulama lainnya juga diiringi oleh rombongan, mereka berjalan serentak dengan suara takbir yang menggema. Tiap kelompok membawakan takbir. Indah sekali. Indah, karena saya ada di antara orang-orang yang membaca takbir dengan suara lepas.
Tapi lama kemudian, rombongan-rombongan itu sudah tidak ada lagi. Orang tak membaca takbir lagi jika berjalan ke masjid kalau hendak shalat hari raya. Mereka hanya berjalan sendiri-sendiri. takbir hanya ada di dalam masjid. Entah kalau sekarang, saya tak tahu lagi, karena jarang lebaran di kampung, hanyut dibawa untung.
Lalu, kemudian dan kemudian, di mana-mana, di kota, di desa-desa yang saya dengar lebih banyak kaset takbir. Kaset dengan suara indah berkumandang di puncak-puncak masjid, menyapa angkasa, menyapu jauh ke kaki-kaki bukit.
Makin lama, kaset makin beragam, malah kemudian ada video takbir. Makin meriah. Rumah penduduk riuh-rendah oleh takbir dari rekaman itu. Suara nan indah tak tertandingi.
Tapi, seperti ada yang lenyap. Sepi. Sepi menyelimuti, bibir terasa kelu. Ada yang terasa kian jauh, direnggutkan oleh kemajuan zaman. Orang masih tetap mengumandangkan takbir, tapi dengan suara alakadarnya. Antara iya dan tidak saja.
Tapi biarlah, zaman sudah berubah. Bagi saya lebaran tak ada yang seindah masa kecil dulu dan itu di kampung. Entah mana yang indah, Idul Fitri atau Idul Adha.
Kalau Idul Fitri, ramainya bukan main, tiap rumah tiap singgah, tiap singgah tiap makan, paling tidak makan galamai. Rumah dunsanak, rumah bako, tak bisa tidak harus didatangi. Apalagi ada baju baru.
Idul Adha, tak sesibuk itu, tapi saya kenyang oleh daging kurban, sebab kakek saya dan jemaahnya membantai beberapa ekor sapi. Tapi masa itu hanya sebentar, karena kakek meninggal dunia.
Lalu kini, Idul Fitri dan Idul Adha tetap meriah di hati saya. Bedanya, dulu saya kanak-kanak, kini bapak orang. Kalau lebaran, yang kasak-kusuk mencari kaset takbiran justru saya. Betapa naifnya! *
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Search
Popular Posts
-
Ini bukan untuk gagah-gagahan, tapi mencoba berkontribusi lebih banyak lagi bagi kepentingan umum. Apa itu? Forum Editor! Forum Editor a...
-
Khairul Jasmi Di Padang saat ini banyak benar jalan berlobang. Jika tak berlobang, aspalnya terkelupas. Kondisi jalan yang buruk menyebabk...
-
Saya naik pesawat Susi Air dari Simpang Empat ke BIM, begitu mendarat saya sudah ketinggalan siaran langsung pengumuman kabinet oleh Preside...
-
Di pinggang malam, karum jam naik, kami turun ke ruang pracetak. Di dada malam, mesin bergemuruh mencetak huruf demi huruf. Di rumahnya, re...
-
Besi tua, jejak sejarah, eksotik, unik, pabrik indah : indarung 1 Fotografer by : Yosfiandri
-
Ini lagu Minang, “Dikijoknyo Den,” lalu oleh Upiak Isil didendangkan dalam bahasa Indonesia, maka jadilah lagu itu, “Dikedipnya Aku.” Lagu ...
-
Di sebuah rumah minimalis, tinggal sebuah keluarga kecil. Papa, mama dan tiga anak. Anak-anaknya diajari berbahasa Indonesia sejak kecil. Di...
-
Forum pemred indonesia bersama menkeu Sri Mulyani. Saya menyampaikan Tax pasar semen yang mesti digejot, pestisida yang mahal karena impor, ...
-
Ini malam bainai, dipahat sambil main pedang. dari Batam terus ke Dumai, melihat Semen Padang.
Recent Posts
Categories
- Berita ( 2 )
- Jalan-jalan ( 5 )
- Komentar ( 33 )
- Opini ( 20 )
- Tulisan ( 21 )
- Wasit Garis ( 112 )
Sample Text
Blog Archive
-
▼
2011
(
95
)
-
▼
Januari
(
69
)
- Payakumbuh
- Tamara Geraldine
- Telepon Genggam
- SMA 1 Padang
- Jakarta
- Permen
- Masakan Padang
- Merdeka
- Bahasa Minang Indonesia II
- Meja Makan
- Maling
- Makan Siang
- Kelulusan dan Pelepasan
- Negeri Lucu, Negeri Selingkuh
- Melirik
- Entah Luna Maya
- Mari Berdendang
- Kursi Nomor 1
- Takbir
- Kunci Rumah
- Korek Api
- Secangkir Kopi
- Koin Cinta
- King
- Bunker Kiamat
- Bisnis Restoran
- Pendidikan Karakter
- Was-was
- Jujai
- Jengkol
- Jam Gadang
- Jalan Berlobang
- Jakarta
- Hati yang Gembira
- Sit Ball
- Ikan Padang
- Ide
- Masakan Ibu
- Ulangtahun
- Hujan sekarang agak pamberang dibanding hujan saat...
- Pemilihan Gubernur
- Gusi Mobil
- Gubernur
- Calon Gubernur
- Recovery Pascagempa
- Gelap
- Gampo
- Aera Eropa
- Diniyyah Putri
- Cinta
- Cerita Pendek
- Cerai Politik
- Caleg ATM
- Berbunga-bunga
- Bom
- Novel Asrama Bidadari
- Berita Kecil
- Di Rumah, Tidur, Sendiri
- Bambu Illegal Logging
- Bahasa Minang Indonesia
- Awan dan Langit
- Avanza
- Antre di Bank
- Antasari Azhar
- Anggi
- Lembah Anai
- Politik Rasionalitas
- 100 Hari Pascagempa
- Sinisme Politik
-
▼
Januari
(
69
)
0 komentar :
Posting Komentar