On
1/31/2011 03:44:00 AM
by
Khairul Jasmi
in
Wasit Garis
No comments
Khairul Jasmi
Sejak gempa 30 September, saya hampir selalu Salat (Shalat) Jumat di masjid Mapolda Sumbar di Padang. Menurut analisa saya, nyaman di sana dibanding masjid lain. Masjid dengan tiang-tiang besar dan kokoh, tak ada yang retak. Poin penting lainnya, masjidnya itu tak berdinding, kalau ada apa-apa gampang lari. Saya melihat beberapa kali Wakil Gubernur Marlis Rahman juga salat di sana, demikian juga Walikota Padang Fauzi Bahar, beberapa pejabat dan beberapa wartawan.
Saya tidak hirau apa alasan orang lain salat di sana, tapi kalau saya karena takut, tepatnya was-was akan kondisi bangunan akan gempa kalau-kalau datang lagi saat kita salat. Menurut saya juga, rasa was-was itu wajar, karena gempa tak bisa ditebak kapan datangnya. Kalau bisa ditebak, untuk apa kita berada dalam ruangan, sementara kita tahu gempa akan datang. Karena tidak tahu itulah diperlukan kewaspadaan. Kewaspadaan adalah salah satu kelebihan yang diberikan Tuhan kepada kita. Jadi bukan soal mati atau tidak mati, bukan soal beriman atau tidak beriman. Soal iman saya, samalah dengan banyak orang, tanggung-tanggung, tergaing, antara iya dan tidak.
Tentu saja perasaan was-was saya itu tak sama dengan orang lain. Ada orang yang bagaknya bukan main, tak takut dihimpok beton. Syukurlah ada orang sebagak itu. Tak soal juga kalau ada yang bilang, saya tak beriman, mudah-mudahan orang beriman tak ikut panik dan tak lari saat gempa 30 September lalu.
Selain gempa, saya juga was-was dengan hujan. Hujan sekarang agak pamberang dibanding hujan saat saya kecil dulu. Sekarang kalau hujan, lebatnya bukan main. Turunnya tidak beraturan. Di Padang saja misalnya, di Jalan Veteran tidak hujan, tapi di Kuranji hujan lebat bukan main.
Menurut para ahli ini karena perubahan cuaca. Perubahan cuaca disebabkan global warning, pemanasan global, paneh seluruh dunia, hangek. Kata ahli juga, es mulai mancair di kutub. Tinggi ilmunya, tak terjangkau pula oleh saya.
Yang saya tahu, cuaca memang akhir-akhir ini payah. Kalau panasnya, bukan main, seperti panas di Sijunjung, ekor sapi pun retak dibuatnya. Kalau hujan longsor terjadi di mana-mana.
Itulah antara lain kenapa saya agak was-was kalau hari sudah hujan, was-was kalau naik pesawat, was-was kalau keluar kota Padang, jangan-jangan tebing longsor pula. Saya hampir terkubur dihantam longsor di Lembah Anai beberapa pekan lalu. Jika saja saya dan teman-teman terlambat lewat 10 menit saja waktu itu, maka mungkin kami yang menemui ajal. Tapi, mana pula bisa mati, kalau belum ajal. Di mana seseorang akan mati, hanya Tuhan yang tahu.
Selain hujan saya juga was-was dengan petir. Petir sekarang keras benar bunyinya. Seperti batrainya baru dicas. Kalau petir keras itu, atap menggelegar dibuatnya. Celakanya, petir seperti bergolek-golek di atas langit, bak kucing bergolek-golek dan berkelahi sesamanya di atas pagu.
Kalau sudah hujan petir, biasanya lampu mati. Lengkap sudah alasan, hujan lebat, petir pula, maka terimalah nasib bergelap-gelap.
Untung kalau awak di rumah, kalau masih di kantor atau di jalan, maka jalan akan tergenang di mana-mana. Bukan hanya jalan, tapi beberapa kawasan pemukiman pun tergenang.
Terakhir Pasa Lereang Bukittinggi yang longsor. Musibah tanah longsor mungkin akan terjadi lagi di tempat lain, selagi hujan lebat begini.
Saya was-was, saya kira juga orang lain *
Sejak gempa 30 September, saya hampir selalu Salat (Shalat) Jumat di masjid Mapolda Sumbar di Padang. Menurut analisa saya, nyaman di sana dibanding masjid lain. Masjid dengan tiang-tiang besar dan kokoh, tak ada yang retak. Poin penting lainnya, masjidnya itu tak berdinding, kalau ada apa-apa gampang lari. Saya melihat beberapa kali Wakil Gubernur Marlis Rahman juga salat di sana, demikian juga Walikota Padang Fauzi Bahar, beberapa pejabat dan beberapa wartawan.
Saya tidak hirau apa alasan orang lain salat di sana, tapi kalau saya karena takut, tepatnya was-was akan kondisi bangunan akan gempa kalau-kalau datang lagi saat kita salat. Menurut saya juga, rasa was-was itu wajar, karena gempa tak bisa ditebak kapan datangnya. Kalau bisa ditebak, untuk apa kita berada dalam ruangan, sementara kita tahu gempa akan datang. Karena tidak tahu itulah diperlukan kewaspadaan. Kewaspadaan adalah salah satu kelebihan yang diberikan Tuhan kepada kita. Jadi bukan soal mati atau tidak mati, bukan soal beriman atau tidak beriman. Soal iman saya, samalah dengan banyak orang, tanggung-tanggung, tergaing, antara iya dan tidak.
Tentu saja perasaan was-was saya itu tak sama dengan orang lain. Ada orang yang bagaknya bukan main, tak takut dihimpok beton. Syukurlah ada orang sebagak itu. Tak soal juga kalau ada yang bilang, saya tak beriman, mudah-mudahan orang beriman tak ikut panik dan tak lari saat gempa 30 September lalu.
Selain gempa, saya juga was-was dengan hujan. Hujan sekarang agak pamberang dibanding hujan saat saya kecil dulu. Sekarang kalau hujan, lebatnya bukan main. Turunnya tidak beraturan. Di Padang saja misalnya, di Jalan Veteran tidak hujan, tapi di Kuranji hujan lebat bukan main.
Menurut para ahli ini karena perubahan cuaca. Perubahan cuaca disebabkan global warning, pemanasan global, paneh seluruh dunia, hangek. Kata ahli juga, es mulai mancair di kutub. Tinggi ilmunya, tak terjangkau pula oleh saya.
Yang saya tahu, cuaca memang akhir-akhir ini payah. Kalau panasnya, bukan main, seperti panas di Sijunjung, ekor sapi pun retak dibuatnya. Kalau hujan longsor terjadi di mana-mana.
Itulah antara lain kenapa saya agak was-was kalau hari sudah hujan, was-was kalau naik pesawat, was-was kalau keluar kota Padang, jangan-jangan tebing longsor pula. Saya hampir terkubur dihantam longsor di Lembah Anai beberapa pekan lalu. Jika saja saya dan teman-teman terlambat lewat 10 menit saja waktu itu, maka mungkin kami yang menemui ajal. Tapi, mana pula bisa mati, kalau belum ajal. Di mana seseorang akan mati, hanya Tuhan yang tahu.
Selain hujan saya juga was-was dengan petir. Petir sekarang keras benar bunyinya. Seperti batrainya baru dicas. Kalau petir keras itu, atap menggelegar dibuatnya. Celakanya, petir seperti bergolek-golek di atas langit, bak kucing bergolek-golek dan berkelahi sesamanya di atas pagu.
Kalau sudah hujan petir, biasanya lampu mati. Lengkap sudah alasan, hujan lebat, petir pula, maka terimalah nasib bergelap-gelap.
Untung kalau awak di rumah, kalau masih di kantor atau di jalan, maka jalan akan tergenang di mana-mana. Bukan hanya jalan, tapi beberapa kawasan pemukiman pun tergenang.
Terakhir Pasa Lereang Bukittinggi yang longsor. Musibah tanah longsor mungkin akan terjadi lagi di tempat lain, selagi hujan lebat begini.
Saya was-was, saya kira juga orang lain *
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Search
Popular Posts
-
Di pinggang malam, karum jam naik, kami turun ke ruang pracetak. Di dada malam, mesin bergemuruh mencetak huruf demi huruf. Di rumahnya, re...
-
Ini bukan untuk gagah-gagahan, tapi mencoba berkontribusi lebih banyak lagi bagi kepentingan umum. Apa itu? Forum Editor! Forum Editor a...
-
HAWAII – Saya di Honolulu, Hawaii sekarang. Sejak berangkat Senin (6/4) sudah dilewati siang dan malam, sesampai di sini malah masih Senin...
-
Ini lagu Minang, “Dikijoknyo Den,” lalu oleh Upiak Isil didendangkan dalam bahasa Indonesia, maka jadilah lagu itu, “Dikedipnya Aku.” Lagu ...
-
Besi tua, jejak sejarah, eksotik, unik, pabrik indah : indarung 1 Fotografer by : Yosfiandri
-
Malam sebentar lagi larut, tapi Payakumbuh semakin ramai. Sepanjang jalan nan lurus pedagang kaki lima berderet rapi. Cahaya lampu dari gero...
-
Khairul Jasmi ”Georgia,” anak saya, Jombang Santani Khairen menjawab dengan tangkas, tatkala pembawa acara di RCTI Tamara Geraldine mengaj...
-
Prof Jan Romain pada tahun 1953 menulis sebuah buku — sebenarnya materi perkuliahannya di Universitas Gadjah Mada — berjudul “Aera Eropa.” ...
-
Sarawa hawaii adalah celana pendek selutut atau di atasnya lagi, pakai kajai di pinggangnya. Ciri khasnya warna-warni. Tak saya temukan k...
-
Saya menyaksikan beberapa hal tentang ‘malu-malu’ dalam rentang waktu yang terpaut jauh. Pertama, doeloe, wanita malu-malu memakai jilbab, k...
Recent Posts
Categories
- Berita ( 2 )
- Jalan-jalan ( 5 )
- Komentar ( 33 )
- Opini ( 20 )
- Tulisan ( 21 )
- Wasit Garis ( 112 )
Sample Text
Blog Archive
-
▼
2011
(
95
)
-
▼
Januari
(
69
)
- Payakumbuh
- Tamara Geraldine
- Telepon Genggam
- SMA 1 Padang
- Jakarta
- Permen
- Masakan Padang
- Merdeka
- Bahasa Minang Indonesia II
- Meja Makan
- Maling
- Makan Siang
- Kelulusan dan Pelepasan
- Negeri Lucu, Negeri Selingkuh
- Melirik
- Entah Luna Maya
- Mari Berdendang
- Kursi Nomor 1
- Takbir
- Kunci Rumah
- Korek Api
- Secangkir Kopi
- Koin Cinta
- King
- Bunker Kiamat
- Bisnis Restoran
- Pendidikan Karakter
- Was-was
- Jujai
- Jengkol
- Jam Gadang
- Jalan Berlobang
- Jakarta
- Hati yang Gembira
- Sit Ball
- Ikan Padang
- Ide
- Masakan Ibu
- Ulangtahun
- Hujan sekarang agak pamberang dibanding hujan saat...
- Pemilihan Gubernur
- Gusi Mobil
- Gubernur
- Calon Gubernur
- Recovery Pascagempa
- Gelap
- Gampo
- Aera Eropa
- Diniyyah Putri
- Cinta
- Cerita Pendek
- Cerai Politik
- Caleg ATM
- Berbunga-bunga
- Bom
- Novel Asrama Bidadari
- Berita Kecil
- Di Rumah, Tidur, Sendiri
- Bambu Illegal Logging
- Bahasa Minang Indonesia
- Awan dan Langit
- Avanza
- Antre di Bank
- Antasari Azhar
- Anggi
- Lembah Anai
- Politik Rasionalitas
- 100 Hari Pascagempa
- Sinisme Politik
-
▼
Januari
(
69
)
0 komentar :
Posting Komentar