Beberapa waktu lalu, menjelang malam rebah ke subuh, saya menonton acara “Minta Tolong” di MNCTV. Seorang ibu bernama Tisni Maharani berusia 40 tahun menolong seseorang. Ibu ini punya tiga anak. Sehari-hari ia menjual mainan. Uang jualan tidak cukup, padahal ia ingin membeli rumah dan melanjutkan pendidikan anak-anaknya. Saya tak melihat ada suaminya dalam acara itu.
Karena kesusahan hidup, ibu ini menumpangkan ibunya di rumah orang. Ia punya tiga anak, yang kecil sudah lama minta dibelikan sepeda mini. Tapi, ibu ini tak pernah bisa memenuhi permintaan anaknya.
Hingga kemudian, datang tim Minta Tolong. Tentu saja ibu ini tidak tahu, ia sedang diuji. Tim Minta Tolong sudah berjam-jam mencari orang yang mau menolong, namun sia-sia. Saya lupa, apa yang ditawarkan kepada Tisni Maharani. Yang saya ingat kemudian, ia diberi uang sebagai hadiah. Ibu ini terpana.
Setelah uang ia genggam, Tisni meneteskan air mata. Tapi tak seperti “korban” minta tolong lainnya, ibu ini tak bergegas pulang, melainkan menjual habis dulu mainannya.
Habis jualan ia membeli sepeda mini dengan uang hadiah yang ia terima. Uang itu tentu tidak habis. Berebut Mahgrib, Tisni menggiring sepeda mininya pulang. Ia seperti mengeng gam surga. Ia berjalan cepat.
Lampu jalanan telah menyala, lalulintas ramai. Ia menyisiri jalanan, kemudian masuk ke gang kecil. mendekati rumah, ia memanggil-manggil nama anaknya.
“Ini ibu bawakan sepeda mini,” katanya. Langkahnya kian kencang, rumahnya kian dekat. Dalam remangnya malam, seorang anak laki-laki keluar dari sebuah rumah sederhana. Anak itu terpana, karena ibunya membawa sepeda.
Keduanya kini semakin dekat, dan beberapa detik kemudian, si ibu menghambur memeluk dan menciumi anaknya. Sang anak sesaat diam, tak tentu yang akan ia sebut. Tapi, setelah itu ia tersenyum. Ia pegang stang sepeda mini baru itu. Ia patut-patut. Mimpinya menjadi kenyataan malam ini.
Acara di MNCTV itu bisa dimaknai “menjual” kemiskinan, namun di sisi lain, bisa menggugah banyak orang. Meski kita tak punya sepatu, tak sepatutnya mengeluh, karena banyak orang tak punya kaki. Makna lain yang bisa diambil, menolong tanpa beban, luar bisa nikmatnya. Menolong, ternyata sulit, namun sesulit-sulitnya hidup, pasti ada orang yang mau menolong orang lain. Tanpa pamrih.
Saya mengambil banyak pelajaran dari acara itu. Beberapa kali mata saya sabak karenanya. Pada ketika itu, saya manaruh hormat kepada kerabat saya sesama jurnalis.
Kalau kita berangkat kerja tiap pagi, ketika kita sedang di tengah keramaian atau di mana saja, sering terlihat banyak orang yang dari raut wajahnya, ia sedang menderita. Entah lewat tangan kita, atau lewat tangan orang lain, Tuhan memberi rezeki kepada mereka.
Bisa jadi, seseorang datang minta tolong kepada kita, untuk dicarikan kerja. Bisa pula, seseorang meminta api untuk menyalakan rokoknya. Ketika lain kita kecopetan, atau ikan teri yang tadi dibeli, tertinggal entah di mana. Jangan sesali apa yang terjadi, jangan dikenang kebaikan. Nikmati saja hidup apa adanya. Bagilah rezeki, jika ada yang akan dibagi.
Hati yang riang adalah obat. (*)
Karena kesusahan hidup, ibu ini menumpangkan ibunya di rumah orang. Ia punya tiga anak, yang kecil sudah lama minta dibelikan sepeda mini. Tapi, ibu ini tak pernah bisa memenuhi permintaan anaknya.
Hingga kemudian, datang tim Minta Tolong. Tentu saja ibu ini tidak tahu, ia sedang diuji. Tim Minta Tolong sudah berjam-jam mencari orang yang mau menolong, namun sia-sia. Saya lupa, apa yang ditawarkan kepada Tisni Maharani. Yang saya ingat kemudian, ia diberi uang sebagai hadiah. Ibu ini terpana.
Setelah uang ia genggam, Tisni meneteskan air mata. Tapi tak seperti “korban” minta tolong lainnya, ibu ini tak bergegas pulang, melainkan menjual habis dulu mainannya.
Habis jualan ia membeli sepeda mini dengan uang hadiah yang ia terima. Uang itu tentu tidak habis. Berebut Mahgrib, Tisni menggiring sepeda mininya pulang. Ia seperti mengeng gam surga. Ia berjalan cepat.
Lampu jalanan telah menyala, lalulintas ramai. Ia menyisiri jalanan, kemudian masuk ke gang kecil. mendekati rumah, ia memanggil-manggil nama anaknya.
“Ini ibu bawakan sepeda mini,” katanya. Langkahnya kian kencang, rumahnya kian dekat. Dalam remangnya malam, seorang anak laki-laki keluar dari sebuah rumah sederhana. Anak itu terpana, karena ibunya membawa sepeda.
Keduanya kini semakin dekat, dan beberapa detik kemudian, si ibu menghambur memeluk dan menciumi anaknya. Sang anak sesaat diam, tak tentu yang akan ia sebut. Tapi, setelah itu ia tersenyum. Ia pegang stang sepeda mini baru itu. Ia patut-patut. Mimpinya menjadi kenyataan malam ini.
Acara di MNCTV itu bisa dimaknai “menjual” kemiskinan, namun di sisi lain, bisa menggugah banyak orang. Meski kita tak punya sepatu, tak sepatutnya mengeluh, karena banyak orang tak punya kaki. Makna lain yang bisa diambil, menolong tanpa beban, luar bisa nikmatnya. Menolong, ternyata sulit, namun sesulit-sulitnya hidup, pasti ada orang yang mau menolong orang lain. Tanpa pamrih.
Saya mengambil banyak pelajaran dari acara itu. Beberapa kali mata saya sabak karenanya. Pada ketika itu, saya manaruh hormat kepada kerabat saya sesama jurnalis.
Kalau kita berangkat kerja tiap pagi, ketika kita sedang di tengah keramaian atau di mana saja, sering terlihat banyak orang yang dari raut wajahnya, ia sedang menderita. Entah lewat tangan kita, atau lewat tangan orang lain, Tuhan memberi rezeki kepada mereka.
Bisa jadi, seseorang datang minta tolong kepada kita, untuk dicarikan kerja. Bisa pula, seseorang meminta api untuk menyalakan rokoknya. Ketika lain kita kecopetan, atau ikan teri yang tadi dibeli, tertinggal entah di mana. Jangan sesali apa yang terjadi, jangan dikenang kebaikan. Nikmati saja hidup apa adanya. Bagilah rezeki, jika ada yang akan dibagi.
Hati yang riang adalah obat. (*)
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Search
Popular Posts
-
Di pinggang malam, karum jam naik, kami turun ke ruang pracetak. Di dada malam, mesin bergemuruh mencetak huruf demi huruf. Di rumahnya, re...
-
Ini bukan untuk gagah-gagahan, tapi mencoba berkontribusi lebih banyak lagi bagi kepentingan umum. Apa itu? Forum Editor! Forum Editor a...
-
HAWAII – Saya di Honolulu, Hawaii sekarang. Sejak berangkat Senin (6/4) sudah dilewati siang dan malam, sesampai di sini malah masih Senin...
-
Ini lagu Minang, “Dikijoknyo Den,” lalu oleh Upiak Isil didendangkan dalam bahasa Indonesia, maka jadilah lagu itu, “Dikedipnya Aku.” Lagu ...
-
Besi tua, jejak sejarah, eksotik, unik, pabrik indah : indarung 1 Fotografer by : Yosfiandri
-
Malam sebentar lagi larut, tapi Payakumbuh semakin ramai. Sepanjang jalan nan lurus pedagang kaki lima berderet rapi. Cahaya lampu dari gero...
-
Khairul Jasmi ”Georgia,” anak saya, Jombang Santani Khairen menjawab dengan tangkas, tatkala pembawa acara di RCTI Tamara Geraldine mengaj...
-
Prof Jan Romain pada tahun 1953 menulis sebuah buku — sebenarnya materi perkuliahannya di Universitas Gadjah Mada — berjudul “Aera Eropa.” ...
-
Sarawa hawaii adalah celana pendek selutut atau di atasnya lagi, pakai kajai di pinggangnya. Ciri khasnya warna-warni. Tak saya temukan k...
-
Saya menyaksikan beberapa hal tentang ‘malu-malu’ dalam rentang waktu yang terpaut jauh. Pertama, doeloe, wanita malu-malu memakai jilbab, k...
Recent Posts
Categories
- Berita ( 2 )
- Jalan-jalan ( 5 )
- Komentar ( 33 )
- Opini ( 20 )
- Tulisan ( 21 )
- Wasit Garis ( 112 )
0 komentar :
Posting Komentar