Seseorang sibuk mencari imsakiyah. Ia tak mau luput dari jadwal yang tepat untuk makan sahur dan berbuka puasa. Biasanya imsakiyah itu ditarok di bawah kaca di meja, di tempel di kamar dan di dapur, dekat istrinya memasak.
Istrinya tak peduli benar dengan jadwal-jadwal itu. Baginya puasa biasa-biasa saja. Tiba sahur, ya sahur, saat berbuka, ia cicipi kolak. Terus shalat. Bagi suaminya, Ramadhan sangatlah istimewa.
Saking istimewanya, ia tidak boleh dipagarahan, selama Ramadhan. Ia berkali-kali bilang, “den puaso mah,” katanya. Begitu tahun-tahun sebelumnya.
Keinginannya banyak benar, kolak ini, kolak itu, randang ini, randang itu, gulai ini, gulai itu. Waktu berbuka, ia icak-icak alim. Dicicipi sedikit, lalu bergegas Shalat Maghrib berjemaah di mushalla. Sambil shalat, pangananya terus saja ke meja makan. Shalat tak sah!
Mendengar pengajian tak luput sekali jua, begitu sejak dulu. Tahun ini akan seperti itu pula. Mengangguk-angguk balam dia di mushalla. Ditanya isi pengajian dua malam lalu, ia lupa. Persis khutbah Jumat. Sejak SD ia mendengar khutbah Jumat, tapi tak berbekas di dirinya sampai sekarang. Lagi pula isi khutbah tak beranjak dari pahala dan dosa. Tidak ada motivasi bagaimana bisa memperbaiki kualitas iman dan kualitas hidup. Sudah ribuan kali ia mendengar ceramah semacam itu. Hambar saja olehnya. Sesuatu yang didengar amat sering, bisa menyebabkan dua hal. Pertama akan berkesan sedalam-dalamnya, kedua bagai air lalu saja.
Ia dibawakan anaknya imsakiyah yang salah cetakannya. Hebohlah si bapak ini. “Apa pula ini, imsakiyah salah, rusak puasa orang,” kata dia.
“Sebenarnya Papa, kita tak perlu imsakiyah, sebab setiap waktu, juga saat berbuka dan imsak, diperdengarkan dengan mik dari mushalla,” kata si anak.
“Perlulah, wajib ada itu, rusak puasa kita.”
“Kalau begitu tak usah saja mushalla pakai mik, selain itu kita matikan saja radio dan televisi, jadi kita berpedoman pada imsakiyah saja.”
“Imsakiyah itu penting, untuk membantu kita, berbuka lebih awal berpahala,” kata si bapak.
Ia memang tamaknina berpuasa. Tahun lalu, ia sering duduk di depan televisi. Mendengarkan pengajian. Selain itu ia juga banyak bertanya kepada ustad lewat telepon.
“Pak ustad di studio, bagaimana hukumnya gosok gigi di Bulan Ramadhan?”
“Ndak baa gai doh Pa,” bisik anaknya.
Di mushalla ia sering pula bertanya, “bagaimana puasa kita kalau tak makan sahur?” Pertanyaan lain, “Sah kah puasa, kalau terminum air tanpa sengaja”
Hal-hal sepele semacam itu selalu dipertanyakannya.
“Ma, masak alah 50 taun umua papa, ndak juo tahu soal gosok gigi bulan puaso doh?”
“Aniang selah,” kata mamanya.
Suatu kali si papa bertanya lagi.
“Bagaimana puasa kita kalau mencukia talingo dan lubang iduang, ustad?”
Si bapak, kini telah memiliki empat lembar imsakiyah. Tiap sebentar dilihatnya, makin ke ujung puasa, makin lama orang berbuka, berjarak dua-dua menit. Ia tak suka itu. (*)
Istrinya tak peduli benar dengan jadwal-jadwal itu. Baginya puasa biasa-biasa saja. Tiba sahur, ya sahur, saat berbuka, ia cicipi kolak. Terus shalat. Bagi suaminya, Ramadhan sangatlah istimewa.
Saking istimewanya, ia tidak boleh dipagarahan, selama Ramadhan. Ia berkali-kali bilang, “den puaso mah,” katanya. Begitu tahun-tahun sebelumnya.
Keinginannya banyak benar, kolak ini, kolak itu, randang ini, randang itu, gulai ini, gulai itu. Waktu berbuka, ia icak-icak alim. Dicicipi sedikit, lalu bergegas Shalat Maghrib berjemaah di mushalla. Sambil shalat, pangananya terus saja ke meja makan. Shalat tak sah!
Mendengar pengajian tak luput sekali jua, begitu sejak dulu. Tahun ini akan seperti itu pula. Mengangguk-angguk balam dia di mushalla. Ditanya isi pengajian dua malam lalu, ia lupa. Persis khutbah Jumat. Sejak SD ia mendengar khutbah Jumat, tapi tak berbekas di dirinya sampai sekarang. Lagi pula isi khutbah tak beranjak dari pahala dan dosa. Tidak ada motivasi bagaimana bisa memperbaiki kualitas iman dan kualitas hidup. Sudah ribuan kali ia mendengar ceramah semacam itu. Hambar saja olehnya. Sesuatu yang didengar amat sering, bisa menyebabkan dua hal. Pertama akan berkesan sedalam-dalamnya, kedua bagai air lalu saja.
Ia dibawakan anaknya imsakiyah yang salah cetakannya. Hebohlah si bapak ini. “Apa pula ini, imsakiyah salah, rusak puasa orang,” kata dia.
“Sebenarnya Papa, kita tak perlu imsakiyah, sebab setiap waktu, juga saat berbuka dan imsak, diperdengarkan dengan mik dari mushalla,” kata si anak.
“Perlulah, wajib ada itu, rusak puasa kita.”
“Kalau begitu tak usah saja mushalla pakai mik, selain itu kita matikan saja radio dan televisi, jadi kita berpedoman pada imsakiyah saja.”
“Imsakiyah itu penting, untuk membantu kita, berbuka lebih awal berpahala,” kata si bapak.
Ia memang tamaknina berpuasa. Tahun lalu, ia sering duduk di depan televisi. Mendengarkan pengajian. Selain itu ia juga banyak bertanya kepada ustad lewat telepon.
“Pak ustad di studio, bagaimana hukumnya gosok gigi di Bulan Ramadhan?”
“Ndak baa gai doh Pa,” bisik anaknya.
Di mushalla ia sering pula bertanya, “bagaimana puasa kita kalau tak makan sahur?” Pertanyaan lain, “Sah kah puasa, kalau terminum air tanpa sengaja”
Hal-hal sepele semacam itu selalu dipertanyakannya.
“Ma, masak alah 50 taun umua papa, ndak juo tahu soal gosok gigi bulan puaso doh?”
“Aniang selah,” kata mamanya.
Suatu kali si papa bertanya lagi.
“Bagaimana puasa kita kalau mencukia talingo dan lubang iduang, ustad?”
Si bapak, kini telah memiliki empat lembar imsakiyah. Tiap sebentar dilihatnya, makin ke ujung puasa, makin lama orang berbuka, berjarak dua-dua menit. Ia tak suka itu. (*)
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Search
Popular Posts
-
Di pinggang malam, karum jam naik, kami turun ke ruang pracetak. Di dada malam, mesin bergemuruh mencetak huruf demi huruf. Di rumahnya, re...
-
HAWAII – Saya di Honolulu, Hawaii sekarang. Sejak berangkat Senin (6/4) sudah dilewati siang dan malam, sesampai di sini malah masih Senin...
-
Ini bukan untuk gagah-gagahan, tapi mencoba berkontribusi lebih banyak lagi bagi kepentingan umum. Apa itu? Forum Editor! Forum Editor a...
-
Prof Jan Romain pada tahun 1953 menulis sebuah buku — sebenarnya materi perkuliahannya di Universitas Gadjah Mada — berjudul “Aera Eropa.” ...
-
Ini lagu Minang, “Dikijoknyo Den,” lalu oleh Upiak Isil didendangkan dalam bahasa Indonesia, maka jadilah lagu itu, “Dikedipnya Aku.” Lagu ...
-
Khairul Jasmi ”Georgia,” anak saya, Jombang Santani Khairen menjawab dengan tangkas, tatkala pembawa acara di RCTI Tamara Geraldine mengaj...
-
Sarawa hawaii adalah celana pendek selutut atau di atasnya lagi, pakai kajai di pinggangnya. Ciri khasnya warna-warni. Tak saya temukan k...
-
Malam sebentar lagi larut, tapi Payakumbuh semakin ramai. Sepanjang jalan nan lurus pedagang kaki lima berderet rapi. Cahaya lampu dari gero...
-
Khairul Jasmi Sekolah sejak dari TK -- sebenarnya TK bukan sekolah dan saya tak pernah masuk TK -- sampai perguruan tinggi, adalah perjalana...

Categories
- Berita ( 2 )
- Jalan-jalan ( 5 )
- Komentar ( 33 )
- Opini ( 20 )
- Tulisan ( 21 )
- Wasit Garis ( 112 )

0 komentar :
Posting Komentar