“Kapan-kapan saya datang.”
“Nanti akan saya antarkan.”
“Kalau ke sini mampir ke rumah.”
“Singgahlah dulu, minum teh.”
“Nanti saja, terkejar mau ke pasar.”
Ini antara lain, ucapan “palapeh kabek”, basa-basi. Tak bisa diukur.
Kita sering mendengar kata-kata di atas. Ini berkaitan dengan kesibukan orang, sehingga sulit membagi waktu. Juga karena “terpaksa” berbasa-basi.
Di luar itu masih banyak hal lain yang “tidak ada tindaklanjutnya”, karena memang dimaksudkan untuk basa-basi saja.
“Nanti kita bantu, kirim proposalnya.”
“Kalau saya menang, saya takkan melupakan bapak-bapak.”
“Masukan dulu usulannya, biar bisa dibahas.”
Pada akhirnya, tidak ada yang peduli dengan kita, karena tiap orang mempedulikan dirinya sendiri. Paling jauh keluarganya. Tiap orang punya kesibukan, yang tak kalah sibuknya dengan kita.
Tiap orang membawa lelah ke rumah masing-masing, lalu mengurainya sampai tuntas. Mereka menyegarkan diri di rumah yang sama. Memulai hari dengan napas baru. Sore pulang lagi membawa kelelahan dan beban baru.
Karena itu, jika ada yang bisa membantu orang lain, dengan cara apapun, maka hal itu amatlah terpuji. Lambatkanlah kendaraan Anda, agar orang bisa menyeberang. Itulah menolong, meski Anda kehilangan dua tiga detik waktu, tapi penyeberang selamat. Kenapa tatkala kendaraan lain sudah berhenti, Anda menyelonong juga ke depan dengan klakson memekakkan telinga, mempertakut penyeberang jalan?
Jika saja kita bisa membantu orang lain, dengan tidak membuang tisu dari mobil, alangkah eloknya. Jika saja, tiap kita memikirkan mau menolong orang lain setiap hari, maka orang lain akan menolong Anda jauh lebih banyak dari yang terpikirkan. Asal diniatkan atas ridha Allah.
“Ya saya bisa menolong, saya tak punya uang, tapi memiliki koneksi, sabar sebentar, saya telepon.”
“Saya punya, tak banyak, Hamba Allah saja.”
Melegakan. Kita sedang tidak sendirian rupanya. Ada orang lain yang bisa membantu.
“Pulsa Rp20 ribu.”
“Maaf saya benar-benar tak ada uang, kalau ada saya kirim.”
“Ah, masa, Rp20 ribu saja tak ada, kirim cepat ya.”
“Indak ado, sadang panik”
“Sawah sinan kan lai barayia mah”
“Indak ado cek den, baa mengecek-annyo lai, dibuek pabirik pitih amuahe cieknyo”
Diam.
Menolong orang adalah menolong, bukan hutang. Jika orang biasanya menolong kita, semisal pulsa Rp20 ribu, maka jangan anggap ia wajib menolong kita hari-hari berikutnya.
“Lah barubah se nyo kini, sampilik”
Kemudian kita tak ditegurnya lagi.
Si penolong yang sudah tak ditegur itu, sedang ada masalah berat. Tiga anaknya sedang butuh dana untuk kuliah.
Langganan koran pun sudah ia setop. Sudah ia sampaikan hal itu pada Anda, tapi Anda tak percaya juga.
“Ah alasan tu mah.”
Tiap kita punya kesulitan yang tak mungkin selalu dibagi dengan orang lain. Pahami hal itu.
“Minta rokok sabatang, sudah makan bana koha.
“Kok rokok lai, ambiak dua sakali.”
“Pahit hidup sekarang ya”
“Iya, berat benar beban terasa”
“Kalau ada proyek bagi-bagi ya.”
“Kamu kalau ada kabari juga aku”
“Ya pastilah”
“Kapan?
“Agustuslah, setelah termen pertama cair”
“Kalau bisa jelang lebaran”
“Oh ya, minta ongkos pulang, sudah sore”
“Tak ada uang, seret benar”
Ah.... (*)
“Nanti akan saya antarkan.”
“Kalau ke sini mampir ke rumah.”
“Singgahlah dulu, minum teh.”
“Nanti saja, terkejar mau ke pasar.”
Ini antara lain, ucapan “palapeh kabek”, basa-basi. Tak bisa diukur.
Kita sering mendengar kata-kata di atas. Ini berkaitan dengan kesibukan orang, sehingga sulit membagi waktu. Juga karena “terpaksa” berbasa-basi.
Di luar itu masih banyak hal lain yang “tidak ada tindaklanjutnya”, karena memang dimaksudkan untuk basa-basi saja.
“Nanti kita bantu, kirim proposalnya.”
“Kalau saya menang, saya takkan melupakan bapak-bapak.”
“Masukan dulu usulannya, biar bisa dibahas.”
Pada akhirnya, tidak ada yang peduli dengan kita, karena tiap orang mempedulikan dirinya sendiri. Paling jauh keluarganya. Tiap orang punya kesibukan, yang tak kalah sibuknya dengan kita.
Tiap orang membawa lelah ke rumah masing-masing, lalu mengurainya sampai tuntas. Mereka menyegarkan diri di rumah yang sama. Memulai hari dengan napas baru. Sore pulang lagi membawa kelelahan dan beban baru.
Karena itu, jika ada yang bisa membantu orang lain, dengan cara apapun, maka hal itu amatlah terpuji. Lambatkanlah kendaraan Anda, agar orang bisa menyeberang. Itulah menolong, meski Anda kehilangan dua tiga detik waktu, tapi penyeberang selamat. Kenapa tatkala kendaraan lain sudah berhenti, Anda menyelonong juga ke depan dengan klakson memekakkan telinga, mempertakut penyeberang jalan?
Jika saja kita bisa membantu orang lain, dengan tidak membuang tisu dari mobil, alangkah eloknya. Jika saja, tiap kita memikirkan mau menolong orang lain setiap hari, maka orang lain akan menolong Anda jauh lebih banyak dari yang terpikirkan. Asal diniatkan atas ridha Allah.
“Ya saya bisa menolong, saya tak punya uang, tapi memiliki koneksi, sabar sebentar, saya telepon.”
“Saya punya, tak banyak, Hamba Allah saja.”
Melegakan. Kita sedang tidak sendirian rupanya. Ada orang lain yang bisa membantu.
“Pulsa Rp20 ribu.”
“Maaf saya benar-benar tak ada uang, kalau ada saya kirim.”
“Ah, masa, Rp20 ribu saja tak ada, kirim cepat ya.”
“Indak ado, sadang panik”
“Sawah sinan kan lai barayia mah”
“Indak ado cek den, baa mengecek-annyo lai, dibuek pabirik pitih amuahe cieknyo”
Diam.
Menolong orang adalah menolong, bukan hutang. Jika orang biasanya menolong kita, semisal pulsa Rp20 ribu, maka jangan anggap ia wajib menolong kita hari-hari berikutnya.
“Lah barubah se nyo kini, sampilik”
Kemudian kita tak ditegurnya lagi.
Si penolong yang sudah tak ditegur itu, sedang ada masalah berat. Tiga anaknya sedang butuh dana untuk kuliah.
Langganan koran pun sudah ia setop. Sudah ia sampaikan hal itu pada Anda, tapi Anda tak percaya juga.
“Ah alasan tu mah.”
Tiap kita punya kesulitan yang tak mungkin selalu dibagi dengan orang lain. Pahami hal itu.
“Minta rokok sabatang, sudah makan bana koha.
“Kok rokok lai, ambiak dua sakali.”
“Pahit hidup sekarang ya”
“Iya, berat benar beban terasa”
“Kalau ada proyek bagi-bagi ya.”
“Kamu kalau ada kabari juga aku”
“Ya pastilah”
“Kapan?
“Agustuslah, setelah termen pertama cair”
“Kalau bisa jelang lebaran”
“Oh ya, minta ongkos pulang, sudah sore”
“Tak ada uang, seret benar”
Ah.... (*)
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Search
Popular Posts
-
Ini bukan untuk gagah-gagahan, tapi mencoba berkontribusi lebih banyak lagi bagi kepentingan umum. Apa itu? Forum Editor! Forum Editor a...
-
Khairul Jasmi Di Padang saat ini banyak benar jalan berlobang. Jika tak berlobang, aspalnya terkelupas. Kondisi jalan yang buruk menyebabk...
-
Saya naik pesawat Susi Air dari Simpang Empat ke BIM, begitu mendarat saya sudah ketinggalan siaran langsung pengumuman kabinet oleh Preside...
-
Di pinggang malam, karum jam naik, kami turun ke ruang pracetak. Di dada malam, mesin bergemuruh mencetak huruf demi huruf. Di rumahnya, re...
-
Besi tua, jejak sejarah, eksotik, unik, pabrik indah : indarung 1 Fotografer by : Yosfiandri
-
Ini lagu Minang, “Dikijoknyo Den,” lalu oleh Upiak Isil didendangkan dalam bahasa Indonesia, maka jadilah lagu itu, “Dikedipnya Aku.” Lagu ...
-
Di sebuah rumah minimalis, tinggal sebuah keluarga kecil. Papa, mama dan tiga anak. Anak-anaknya diajari berbahasa Indonesia sejak kecil. Di...
-
Forum pemred indonesia bersama menkeu Sri Mulyani. Saya menyampaikan Tax pasar semen yang mesti digejot, pestisida yang mahal karena impor, ...
-
Ini malam bainai, dipahat sambil main pedang. dari Batam terus ke Dumai, melihat Semen Padang.
Recent Posts
Categories
- Berita ( 2 )
- Jalan-jalan ( 5 )
- Komentar ( 33 )
- Opini ( 20 )
- Tulisan ( 21 )
- Wasit Garis ( 112 )
0 komentar :
Posting Komentar