Sudah beberapa hari Ramadhan dilalui. Shalat Taraweh ramai terus. Tapi si bapak malam ini, tak hadir. Ia pusing karena pemerintah melakukan moratorium CPNS. Penghentian sementara.
“Tibo di awak nyo barantian, antah ha ha sae,” katanya pada sang istri.
“Curito se tu nyo Pa, sabanta lai bukak lo liak mah,” kata si istri.
“Nga taraweh Papa?” Tanya sang istri. Sebelum di rumah baru yang sekarang, ia tak memanggil papa pada suaminya, tapi “uda” kadang-kadang “oi” saja. Kini semakin maju saja, apalagi sejak bermobil baru. Dikacaknya dunia. Berpapa dia sekarang.
“Panik den,” kata dia. Anak gadisnya yang baru tamat kuliah sudah cigin ke mushalla. Si bapak cemas, karena anak gadisnya terhambat jadi PNS gara-gara moratorium. Waktu taraweh dua malam lalu, si bapak bersama anak dan istrinya sama-sama ke mushalla. Tenang benar bathinnya. Namun, sesudah Shalat Isya, hapenya bergetar. Sebuah SMS masuk.
“Besok cepat ke kantor, rapat soal moratorium, tahun ini tak terima pns, jumlah yang ada akan didata.”
Sejak itu ia gelisah. Ketika pengajian diberikan ustad, ia menerawang saja. Sudah banyak orang dibantunya, sekarang tiba di anaknya, pemerintah menyetop penerimaan CPNS.
Ketika Shalat Taraweh, si bapak berdiri. Setelah salam, ia menghilang. Waktu mau Witir, dia masuk lagi.
“Manga Papa, mailang-ilang se wakatu sumbayang?” Istrinya bertanya sesampai di rumah.
“Amba pusek den,” jawabnya
“Apa gerangan?”
“Bacaan imam banyak yang salah,” kata dia berdalih.
Istrinya diam sembari menyuguhkan kolak pisang.
“Roti hambar ada ga” ia bertanya.
“Roti hambar apa itu?” istrinya mulai berkucikak.
“Roti amba tadi tu ha, minta stek,” jawabnya.
“Roti kaleng yang ada.”
“Sumbaranglah,” katanya.
Malam-malam berikut si bapak jarang ke mushalla. Ia selalu keluar rumah, pergi ke warung bertukar pikiran dengan sesama besar.
Mushala mulai berkurang isinya. Di balik kain, induak-induak masih tamaknina shalatnya. Tapi di saf belakang yang diisi anak-anak gadis, tikar mulai kencong-kencong. Ada yang shalat, ada yang duduk, ada yang main SMS, berjanji dengan pacarnya bertemu dekat tiang listrik.
Shalat terasa lama, ayat yang dibaca imam terasa panjang. Ada kakobeh imam, makin panjang ayat, makin meliuk bacaannya. Ayat-ayat pendek tak laku. Yang muda-muda gelisah dibuatnya.
Pagi ini, si bapak bergegas ke kantor. Pukul 10 siang, ia menghilang. Ia mau makan.
“Indak konsentrasi den puaso doh, anak ndak bisa jadi PNS, pamerintah indak manenggang,” kata dia pada temannya yang sama-sama tidak berpuasa.
“Perlakikan sajalah anakmu itu, habis perkara,” kata si teman.
“Dia mau kerja jadi PNS.”
“Lakinya cari yang PNS”
Si bapak tak menjawab. Ia seruput kopi hangat di gelas kecil. Ia sulut sebatang rokok. Ia buka satu kancing baju. Ia mulai main SMS, entah dengan siapa.
Nanti malam, ia tak taraweh lagi. (*)
“Tibo di awak nyo barantian, antah ha ha sae,” katanya pada sang istri.
“Curito se tu nyo Pa, sabanta lai bukak lo liak mah,” kata si istri.
“Nga taraweh Papa?” Tanya sang istri. Sebelum di rumah baru yang sekarang, ia tak memanggil papa pada suaminya, tapi “uda” kadang-kadang “oi” saja. Kini semakin maju saja, apalagi sejak bermobil baru. Dikacaknya dunia. Berpapa dia sekarang.
“Panik den,” kata dia. Anak gadisnya yang baru tamat kuliah sudah cigin ke mushalla. Si bapak cemas, karena anak gadisnya terhambat jadi PNS gara-gara moratorium. Waktu taraweh dua malam lalu, si bapak bersama anak dan istrinya sama-sama ke mushalla. Tenang benar bathinnya. Namun, sesudah Shalat Isya, hapenya bergetar. Sebuah SMS masuk.
“Besok cepat ke kantor, rapat soal moratorium, tahun ini tak terima pns, jumlah yang ada akan didata.”
Sejak itu ia gelisah. Ketika pengajian diberikan ustad, ia menerawang saja. Sudah banyak orang dibantunya, sekarang tiba di anaknya, pemerintah menyetop penerimaan CPNS.
Ketika Shalat Taraweh, si bapak berdiri. Setelah salam, ia menghilang. Waktu mau Witir, dia masuk lagi.
“Manga Papa, mailang-ilang se wakatu sumbayang?” Istrinya bertanya sesampai di rumah.
“Amba pusek den,” jawabnya
“Apa gerangan?”
“Bacaan imam banyak yang salah,” kata dia berdalih.
Istrinya diam sembari menyuguhkan kolak pisang.
“Roti hambar ada ga” ia bertanya.
“Roti hambar apa itu?” istrinya mulai berkucikak.
“Roti amba tadi tu ha, minta stek,” jawabnya.
“Roti kaleng yang ada.”
“Sumbaranglah,” katanya.
Malam-malam berikut si bapak jarang ke mushalla. Ia selalu keluar rumah, pergi ke warung bertukar pikiran dengan sesama besar.
Mushala mulai berkurang isinya. Di balik kain, induak-induak masih tamaknina shalatnya. Tapi di saf belakang yang diisi anak-anak gadis, tikar mulai kencong-kencong. Ada yang shalat, ada yang duduk, ada yang main SMS, berjanji dengan pacarnya bertemu dekat tiang listrik.
Shalat terasa lama, ayat yang dibaca imam terasa panjang. Ada kakobeh imam, makin panjang ayat, makin meliuk bacaannya. Ayat-ayat pendek tak laku. Yang muda-muda gelisah dibuatnya.
Pagi ini, si bapak bergegas ke kantor. Pukul 10 siang, ia menghilang. Ia mau makan.
“Indak konsentrasi den puaso doh, anak ndak bisa jadi PNS, pamerintah indak manenggang,” kata dia pada temannya yang sama-sama tidak berpuasa.
“Perlakikan sajalah anakmu itu, habis perkara,” kata si teman.
“Dia mau kerja jadi PNS.”
“Lakinya cari yang PNS”
Si bapak tak menjawab. Ia seruput kopi hangat di gelas kecil. Ia sulut sebatang rokok. Ia buka satu kancing baju. Ia mulai main SMS, entah dengan siapa.
Nanti malam, ia tak taraweh lagi. (*)
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Search
Popular Posts
-
Ini bukan untuk gagah-gagahan, tapi mencoba berkontribusi lebih banyak lagi bagi kepentingan umum. Apa itu? Forum Editor! Forum Editor a...
-
Khairul Jasmi Di Padang saat ini banyak benar jalan berlobang. Jika tak berlobang, aspalnya terkelupas. Kondisi jalan yang buruk menyebabk...
-
Saya naik pesawat Susi Air dari Simpang Empat ke BIM, begitu mendarat saya sudah ketinggalan siaran langsung pengumuman kabinet oleh Preside...
-
Di pinggang malam, karum jam naik, kami turun ke ruang pracetak. Di dada malam, mesin bergemuruh mencetak huruf demi huruf. Di rumahnya, re...
-
Besi tua, jejak sejarah, eksotik, unik, pabrik indah : indarung 1 Fotografer by : Yosfiandri
-
Ini lagu Minang, “Dikijoknyo Den,” lalu oleh Upiak Isil didendangkan dalam bahasa Indonesia, maka jadilah lagu itu, “Dikedipnya Aku.” Lagu ...
-
Di sebuah rumah minimalis, tinggal sebuah keluarga kecil. Papa, mama dan tiga anak. Anak-anaknya diajari berbahasa Indonesia sejak kecil. Di...
-
Forum pemred indonesia bersama menkeu Sri Mulyani. Saya menyampaikan Tax pasar semen yang mesti digejot, pestisida yang mahal karena impor, ...
-
Ini malam bainai, dipahat sambil main pedang. dari Batam terus ke Dumai, melihat Semen Padang.
Recent Posts
Categories
- Berita ( 2 )
- Jalan-jalan ( 5 )
- Komentar ( 33 )
- Opini ( 20 )
- Tulisan ( 21 )
- Wasit Garis ( 112 )
Hahahaha. Antah cerpen, antah kolom. Yang jelas refleksi yang satiris namun berkualitas tinggi. Salut tak terkira. Selamat, Om KJ! Mohammad Isa Gautama
BalasHapus