Sesudah Lebaran Idul Fitri, paling tidak sampai Kamis (8/9), produktivitas menurun. Indikasi ini saya amati di dunia jurnalistik. Saya melihat pola kerja wartawan suratkabar di Sumatra Barat, saya sigi semua situs berita langganan Singgalang, juga situs-situs koran dan kantor berita lainnya. Semua menunjukkan, produktivitas menurun. Tidak diketahui bagaimana di lapangan pekerjaan lain.
Ini bisa disebabkan, banyaknya wartawan yang cuti atau masih lelah sehabis Lebaran. Atau bisa pula, energi wartawan tersedot oleh liputan mudik dan balik musim liburan.
Apapun, Lebaran telah berlalu. Badan terasa segar, dompet terasa tipis. Tanggal semaikin tua pula. Sementara itu berbagai kewajiban tak terlunasi semuanya.
Kue lebaran, membisu dalam botol di meja ruang tamu. Dingin. Sesekali dikulek, terasa manis. Namun batuk ini belum reda juga karena kebanyakan memakan yang manis-manis saat Lebaran. Flu mulai pula terasa karena cuaca yang tak bersahabat.
Kacang tojin, apapun alasannya, lamak dan badaruak , tak bisa dilupakan. Kacang tojin yang paling merasai, tinggal sedikit lagi. Pekan depan akan habis, karena semua tangan manggaruaknya.
Lebaran kembar, tidak jadi pembicaraan lagi. Pertikaian itu, kata ulama adalah rahmat. Beliau menyebutnya “perbedaan” bukan “pertikaian”. Tapi kalau terus-menerus berbeda, apa itu rahmat juga?
Tak tahulah, yang pasti, berbeda atau pun sama, hampir semua perusahaan swasta di seluruh Indonesia, menganggap Agustus adalah bulan yang berat. THR dan gaji harus dibayar bersamaan, meski ada yang membayar gaji sehabis Lebaran.
Pilihan pertama terasa alangkah enaknya. Betapa tidak, THR dan gaji sedundun. Bapitih wak rirayo. Habis Lebaran, ludes semua. Sementara kelompok kedua, agak mangambok menjelang Lebaran. Tapi, begitu masuk kantor, mereka langsung terima gaji. Dapat energi baru. THR habis, gaji diterima. Seperti menerima piutang lama. tak disangka-sangka.
Begitulah Lebaran, sebuah gerakan kolosal yang bernilai triliunan rupiah. Lantas kemudian yang tersisa adalah pakaian baru habis dipakai yang belum dicuci. Sepatu baru tergetak begitu saja di dekat pintu. Bunga di halaman yang biasa disiram, belum disentuh. Kota mulai sibuk, sesibuk hari-hari sebelumnya.
Sementara desa mulai sepi, kumandang azan Zuhur di menara masjid, seolah pekik kepiluan. Lengang bukan buatan nagari sekarang. Perantau telah pergi, petani ke sawah dan ke ladang. Harga hasil tanaman serba murah, semoga bulan depan membaik.
Anak-anak pergi ke sekolah, tak ada kisah yang hendak diceritakan, karena mereka masih mengantuk-ngantuk.
Lantas di langit tua, rembulan bangkit malam demi malam. Dari sepotong sabit, lantas malam berikut kian besar dan akhirnya, Selasa atau Rabu besok akan purnama. Bulan bulat penuh, saat bumi temaram disiram sinarnya. Saat purnama itu datang 40 tahun silam, masih teringat, anak-anak bermain tali di halaman rumah.
Kini purnama mungkin berlalu begitu saja, tanpa ada anak-anak yang riang di halaman rumahnya.
Lebaran telah usai, mohon maaf lahir batin. (*)
Ini bisa disebabkan, banyaknya wartawan yang cuti atau masih lelah sehabis Lebaran. Atau bisa pula, energi wartawan tersedot oleh liputan mudik dan balik musim liburan.
Apapun, Lebaran telah berlalu. Badan terasa segar, dompet terasa tipis. Tanggal semaikin tua pula. Sementara itu berbagai kewajiban tak terlunasi semuanya.
Kue lebaran, membisu dalam botol di meja ruang tamu. Dingin. Sesekali dikulek, terasa manis. Namun batuk ini belum reda juga karena kebanyakan memakan yang manis-manis saat Lebaran. Flu mulai pula terasa karena cuaca yang tak bersahabat.
Kacang tojin, apapun alasannya, lamak dan badaruak , tak bisa dilupakan. Kacang tojin yang paling merasai, tinggal sedikit lagi. Pekan depan akan habis, karena semua tangan manggaruaknya.
Lebaran kembar, tidak jadi pembicaraan lagi. Pertikaian itu, kata ulama adalah rahmat. Beliau menyebutnya “perbedaan” bukan “pertikaian”. Tapi kalau terus-menerus berbeda, apa itu rahmat juga?
Tak tahulah, yang pasti, berbeda atau pun sama, hampir semua perusahaan swasta di seluruh Indonesia, menganggap Agustus adalah bulan yang berat. THR dan gaji harus dibayar bersamaan, meski ada yang membayar gaji sehabis Lebaran.
Pilihan pertama terasa alangkah enaknya. Betapa tidak, THR dan gaji sedundun. Bapitih wak rirayo. Habis Lebaran, ludes semua. Sementara kelompok kedua, agak mangambok menjelang Lebaran. Tapi, begitu masuk kantor, mereka langsung terima gaji. Dapat energi baru. THR habis, gaji diterima. Seperti menerima piutang lama. tak disangka-sangka.
Begitulah Lebaran, sebuah gerakan kolosal yang bernilai triliunan rupiah. Lantas kemudian yang tersisa adalah pakaian baru habis dipakai yang belum dicuci. Sepatu baru tergetak begitu saja di dekat pintu. Bunga di halaman yang biasa disiram, belum disentuh. Kota mulai sibuk, sesibuk hari-hari sebelumnya.
Sementara desa mulai sepi, kumandang azan Zuhur di menara masjid, seolah pekik kepiluan. Lengang bukan buatan nagari sekarang. Perantau telah pergi, petani ke sawah dan ke ladang. Harga hasil tanaman serba murah, semoga bulan depan membaik.
Anak-anak pergi ke sekolah, tak ada kisah yang hendak diceritakan, karena mereka masih mengantuk-ngantuk.
Lantas di langit tua, rembulan bangkit malam demi malam. Dari sepotong sabit, lantas malam berikut kian besar dan akhirnya, Selasa atau Rabu besok akan purnama. Bulan bulat penuh, saat bumi temaram disiram sinarnya. Saat purnama itu datang 40 tahun silam, masih teringat, anak-anak bermain tali di halaman rumah.
Kini purnama mungkin berlalu begitu saja, tanpa ada anak-anak yang riang di halaman rumahnya.
Lebaran telah usai, mohon maaf lahir batin. (*)
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Search
Popular Posts
-
Ini bukan untuk gagah-gagahan, tapi mencoba berkontribusi lebih banyak lagi bagi kepentingan umum. Apa itu? Forum Editor! Forum Editor a...
-
Khairul Jasmi Di Padang saat ini banyak benar jalan berlobang. Jika tak berlobang, aspalnya terkelupas. Kondisi jalan yang buruk menyebabk...
-
Saya naik pesawat Susi Air dari Simpang Empat ke BIM, begitu mendarat saya sudah ketinggalan siaran langsung pengumuman kabinet oleh Preside...
-
Di pinggang malam, karum jam naik, kami turun ke ruang pracetak. Di dada malam, mesin bergemuruh mencetak huruf demi huruf. Di rumahnya, re...
-
Besi tua, jejak sejarah, eksotik, unik, pabrik indah : indarung 1 Fotografer by : Yosfiandri
-
Ini lagu Minang, “Dikijoknyo Den,” lalu oleh Upiak Isil didendangkan dalam bahasa Indonesia, maka jadilah lagu itu, “Dikedipnya Aku.” Lagu ...
-
Di sebuah rumah minimalis, tinggal sebuah keluarga kecil. Papa, mama dan tiga anak. Anak-anaknya diajari berbahasa Indonesia sejak kecil. Di...
-
Forum pemred indonesia bersama menkeu Sri Mulyani. Saya menyampaikan Tax pasar semen yang mesti digejot, pestisida yang mahal karena impor, ...
-
Ini malam bainai, dipahat sambil main pedang. dari Batam terus ke Dumai, melihat Semen Padang.
Recent Posts
Categories
- Berita ( 2 )
- Jalan-jalan ( 5 )
- Komentar ( 33 )
- Opini ( 20 )
- Tulisan ( 21 )
- Wasit Garis ( 112 )
0 komentar :
Posting Komentar