“Ada dua srigala yang bertarung dalam diri manusia. Satu cinta, lainnya benci. Yang menang, serigala yang selalu diberi makan.”
Saya suka mencatat, kata-kata bermakna ketika menonton film asing. Kutipan di atas saya ambil dari sebuah film produksi Amerika. Saya lupa filmnya.
Srigala itulah yang sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Keduanya sering memakan kita, tanpa disadari. Karena cinta, orang bisa hanyut sampai ke laut lepas, lalu tenggelam tanpa diketahui siapa saja. Oleh hal yang sama, seseorang bisa terbang ke bulan dan tak pulang-pulang. Oleh cinta juga, manusia menemukan surga di setiap langkahnya. Mabuk kepayang dia.
Karena benci, dunia rasanya mau dikeping, tapi pengepingnya tak ada. Tersebab benci, muak saja kita melihat orang lain. Bahkan jijik.
“Jangan cemas dengan apa yang terjadi, sebab waktu akan mengobati segalanya,” kata indah lainnya yang saya catat. Masih dari film.
Waktu akan mencairkan perasaan benci dan cinta. Waktu pula yang bisa mendekatkan seseorang dengan lainnya. Atau menjauhkannya, hingga lupa.
Teman saya, yang sudah lupa merokok, karena jantungnya yang rusak, tiba-tiba merokok lagi. “Sakali-sakali,” katanya.
Nyaris saya marah kepadanya. Waktu telah menyebabkan, ia kembali mencari rokok, setelah sekian lama berhenti. Ia lupa penyakitnya.
Teman lainnya, mengaku agak rusak hatinya, ketika tak teman lamanya, lupa. “Luponyo jo den, sombong bana,” kata dia.
Betapa takkan lupa, si teman sudah berdasi, makin gagah.
“Sabana lupo den, serius,” kata si teman. Ia payah “memperbaiki” hubungannya kemudian.
“Setelah berbicara berpisah, baru saya tahu, beliau guru saya rupanya,” kata seorang teman yang lain, habis mewawancarai seorang tokoh masyarakat. Si guru telah pensiun. Sudah lama. Bekas muridnya ini, sudah jadi orang. Kemudian ia balik kanan, mencari si guru, untuk minta maaf. Tapi, si guru sudah lenyap. Pak guru pensiun itu, juga tak mengenalnya.
Semua ini terjadi karena waktu.
Kita acap lalai memberi makan sanubari. Mungkin srigala, bukanlah tamsilan yang tepat, terutama untuk rasa cinta. Namun apapun, seseorang bisa tak pandai lagi meningkahkan cinta untuk kehidupannya.
Ia lupa berdandan, karena perihnya kehidupan. Ia lupa mandi bersih karena kesibukan. Ia lupa mencium suami atau istrinya. Lupa dengan sentuhan pada anak-anaknya.
Tapi ia tak lupa melirik lawan jenis yang ia sukai. Terbit jongkeknya. Srigalanya sedang riang. (*)
Saya suka mencatat, kata-kata bermakna ketika menonton film asing. Kutipan di atas saya ambil dari sebuah film produksi Amerika. Saya lupa filmnya.
Srigala itulah yang sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Keduanya sering memakan kita, tanpa disadari. Karena cinta, orang bisa hanyut sampai ke laut lepas, lalu tenggelam tanpa diketahui siapa saja. Oleh hal yang sama, seseorang bisa terbang ke bulan dan tak pulang-pulang. Oleh cinta juga, manusia menemukan surga di setiap langkahnya. Mabuk kepayang dia.
Karena benci, dunia rasanya mau dikeping, tapi pengepingnya tak ada. Tersebab benci, muak saja kita melihat orang lain. Bahkan jijik.
“Jangan cemas dengan apa yang terjadi, sebab waktu akan mengobati segalanya,” kata indah lainnya yang saya catat. Masih dari film.
Waktu akan mencairkan perasaan benci dan cinta. Waktu pula yang bisa mendekatkan seseorang dengan lainnya. Atau menjauhkannya, hingga lupa.
Teman saya, yang sudah lupa merokok, karena jantungnya yang rusak, tiba-tiba merokok lagi. “Sakali-sakali,” katanya.
Nyaris saya marah kepadanya. Waktu telah menyebabkan, ia kembali mencari rokok, setelah sekian lama berhenti. Ia lupa penyakitnya.
Teman lainnya, mengaku agak rusak hatinya, ketika tak teman lamanya, lupa. “Luponyo jo den, sombong bana,” kata dia.
Betapa takkan lupa, si teman sudah berdasi, makin gagah.
“Sabana lupo den, serius,” kata si teman. Ia payah “memperbaiki” hubungannya kemudian.
“Setelah berbicara berpisah, baru saya tahu, beliau guru saya rupanya,” kata seorang teman yang lain, habis mewawancarai seorang tokoh masyarakat. Si guru telah pensiun. Sudah lama. Bekas muridnya ini, sudah jadi orang. Kemudian ia balik kanan, mencari si guru, untuk minta maaf. Tapi, si guru sudah lenyap. Pak guru pensiun itu, juga tak mengenalnya.
Semua ini terjadi karena waktu.
Kita acap lalai memberi makan sanubari. Mungkin srigala, bukanlah tamsilan yang tepat, terutama untuk rasa cinta. Namun apapun, seseorang bisa tak pandai lagi meningkahkan cinta untuk kehidupannya.
Ia lupa berdandan, karena perihnya kehidupan. Ia lupa mandi bersih karena kesibukan. Ia lupa mencium suami atau istrinya. Lupa dengan sentuhan pada anak-anaknya.
Tapi ia tak lupa melirik lawan jenis yang ia sukai. Terbit jongkeknya. Srigalanya sedang riang. (*)
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Search
Popular Posts
-
Ini bukan untuk gagah-gagahan, tapi mencoba berkontribusi lebih banyak lagi bagi kepentingan umum. Apa itu? Forum Editor! Forum Editor a...
-
Khairul Jasmi Di Padang saat ini banyak benar jalan berlobang. Jika tak berlobang, aspalnya terkelupas. Kondisi jalan yang buruk menyebabk...
-
Saya naik pesawat Susi Air dari Simpang Empat ke BIM, begitu mendarat saya sudah ketinggalan siaran langsung pengumuman kabinet oleh Preside...
-
Di pinggang malam, karum jam naik, kami turun ke ruang pracetak. Di dada malam, mesin bergemuruh mencetak huruf demi huruf. Di rumahnya, re...
-
Besi tua, jejak sejarah, eksotik, unik, pabrik indah : indarung 1 Fotografer by : Yosfiandri
-
Ini lagu Minang, “Dikijoknyo Den,” lalu oleh Upiak Isil didendangkan dalam bahasa Indonesia, maka jadilah lagu itu, “Dikedipnya Aku.” Lagu ...
-
Di sebuah rumah minimalis, tinggal sebuah keluarga kecil. Papa, mama dan tiga anak. Anak-anaknya diajari berbahasa Indonesia sejak kecil. Di...
-
Forum pemred indonesia bersama menkeu Sri Mulyani. Saya menyampaikan Tax pasar semen yang mesti digejot, pestisida yang mahal karena impor, ...
-
Ini malam bainai, dipahat sambil main pedang. dari Batam terus ke Dumai, melihat Semen Padang.
Recent Posts
Categories
- Berita ( 2 )
- Jalan-jalan ( 5 )
- Komentar ( 33 )
- Opini ( 20 )
- Tulisan ( 21 )
- Wasit Garis ( 112 )
0 komentar :
Posting Komentar