Khairul Jasmi
Oto ngeong-ngeong, berbunyi-bunyi panjang dan berlampu, jalannya kencang tanpa hambatan, itulah mobil voorrijder (vorider). Dari bahasa Belanda, artinya kurang lebih “orang berkuda”
Mobil ini disopiri petugas kepolisian. Biasanya digunakan untuk membuka jalan bagi pejabat penting, sesuai undang-undang. Kalau di provinsi, gubernur, bupati walikota, pejabat militer dan sebagainya boleh menggunakannya. Di tingkat pusat, apalagi.
Mobil ngeong-ngeong juga bisa ambulans dan mobil pemadam kebakaran. Untuk semua rombongan yang pakai voorrijder, dapat keistimewaan di jalan raya.
Hari raya, para bupati dan walikota yang pergi berlebaran ke rumah gubernur di Padang, menggunakan jasa mobil ini. Seolah-olah mereka tak peduli jalan macet padat merayap.
Suatu hari, dua pekan lalu saya mengikuti mobil ngeong-ngeong ini dari Tabing hendak menuju Bukittinggi. Di belakang voorrijder, sebuah mobil kijang warna hitam.
Sesampai di Sicincin saya disetop polisi. “Bapak tidak boleh mengikuti mobil itu, karena bapak bukan rombongan. Jika ingin dikawal, harus lapor terlebih dahulu,” kata petugas sana. Saya bergegas hendak ke pertemuan wartawan Indonesia-Malaysia di Bukittinggi.
“Payah benar jadi rakyat,” kata saya dalam hati. Kepada petugas yang sedang menjalankan tugas itu, saya jelaskan, saya terburu-buru. Apa salahnya mengikuti voorrijder. Toh yang dikawalnya hanya satu mobil. Penumpangnya juga hanya seorang ajudan. Pejabat sekalipun, kalau di Sumbar, Insya Allah saya tahu orangnya. Juga tabiatnya. Lagi pula tujuan kami sama
Saya memaklumi petugas polisi di jalan raya. Ia memaklumi saya tergegas. Meski ia sempat mengatakan, saya telah melanggar lampu merah di simpang By Pass Lubuk Alung. Tentu saja saya langgar, karena saya mengikuti mobil ngeong-ngeong itu.
Kenapa disetop polisi? Si polisi dikabari lewat radio oleh polisi di atas voorrijder. Sopir di atas voorrijder dapat perintah dari sopir mobil pejabat. Maka disetoplah saya.
Setelah saya dilepas saya telepon atasan si sopir dan atasan di ajudan. “Perangainya anak buahmu,” kata saya.
Teman-teman wartawan juga menelepon si ajudan. Ia minta maaf.
“Besok-besok kalau mau ikut, telepon saya dulu,” kata si pejabat teman saya. Ha ha ha, gaya birokrat benar.
Sesampai di Bukittinggi, saya tak peduli lagi. Tak ada gunanya. Urusan dia banyak. Urusan saya juga banyak. Semua orang yang tadi tahu soal itu, sudah melupakannya.
Saya tidak. Bukan karena saya dendam atau sok hebat dan mentang-mentang. Tapi, karena sejak paruh kedua 1980-an sampai 2004, saya hampir tiap minggu pergi meliput ke daerah mengikuti gubernur Sumbar. Gubernur pakai voorrijder. Saya melihat, selalu saja ada mobil rakyat mengekor. Bahkan iring-iringan bisa menjadi panjang, karena di jalan banyak yang menempel. Sejauh itu tak pernah ada masalah. Tak dihambat polisi di jalan.
Pengalaman saya merupakan pertama dalam sejarah voorrijder di Sumbar. Mungkin.
Pelajaran yang dapat saya ambil, karena kehadiran voorrijder, banyak pengendara yang terkapereh. Ngeong-ngeong merampas hak pengguna jalan. Pengguna jalan juga tidak mengetahui privasi yang diberikan kepada sejumlah orang. Dianggapnya sama saja. Kalau ngeong-ngeong itu ambulans, pengendara tak peduli saja. Tapi kalau pemadam kebakaran, mereka takut.
Kesadaran berlalulintas sangat rendah, sehingga mengabaikan hal-hal yang patut diperhatikan.
Berikut, kalau mobil Anda dikawal voorrijder, lalu ada yang menumpang di belakang, janganlah marah, jika hanya karena Anda tidak mau terganggu privasinya. Kalau saya perturutkan kata hati saya, mungkin saya akan mengamuk. Tapi, saya pula yang akan ditertawakan orang. Bahkan dicibir.
“Kaolah, baa raso-e, sok-sok ebat, ditangkok polisi,” kata orang di belakang saya.
Oto ngeong-ngoeng, bisa bertemu di mana saja. Jika Anda jengkel, urut saja dadamu. Salah satu ciri penting di negeri ini adalah, bila jadi pejabat negara, maka mobil ngeong-ngoeng akan mengikuti Anda ke mana pergi. Misalnya, saat mengejar jadwal pesawat di BIM Ketaping.
Nah, jadilah pejabat. (*)
Oto ngeong-ngeong, berbunyi-bunyi panjang dan berlampu, jalannya kencang tanpa hambatan, itulah mobil voorrijder (vorider). Dari bahasa Belanda, artinya kurang lebih “orang berkuda”
Mobil ini disopiri petugas kepolisian. Biasanya digunakan untuk membuka jalan bagi pejabat penting, sesuai undang-undang. Kalau di provinsi, gubernur, bupati walikota, pejabat militer dan sebagainya boleh menggunakannya. Di tingkat pusat, apalagi.
Mobil ngeong-ngeong juga bisa ambulans dan mobil pemadam kebakaran. Untuk semua rombongan yang pakai voorrijder, dapat keistimewaan di jalan raya.
Hari raya, para bupati dan walikota yang pergi berlebaran ke rumah gubernur di Padang, menggunakan jasa mobil ini. Seolah-olah mereka tak peduli jalan macet padat merayap.
Suatu hari, dua pekan lalu saya mengikuti mobil ngeong-ngeong ini dari Tabing hendak menuju Bukittinggi. Di belakang voorrijder, sebuah mobil kijang warna hitam.
Sesampai di Sicincin saya disetop polisi. “Bapak tidak boleh mengikuti mobil itu, karena bapak bukan rombongan. Jika ingin dikawal, harus lapor terlebih dahulu,” kata petugas sana. Saya bergegas hendak ke pertemuan wartawan Indonesia-Malaysia di Bukittinggi.
“Payah benar jadi rakyat,” kata saya dalam hati. Kepada petugas yang sedang menjalankan tugas itu, saya jelaskan, saya terburu-buru. Apa salahnya mengikuti voorrijder. Toh yang dikawalnya hanya satu mobil. Penumpangnya juga hanya seorang ajudan. Pejabat sekalipun, kalau di Sumbar, Insya Allah saya tahu orangnya. Juga tabiatnya. Lagi pula tujuan kami sama
Saya memaklumi petugas polisi di jalan raya. Ia memaklumi saya tergegas. Meski ia sempat mengatakan, saya telah melanggar lampu merah di simpang By Pass Lubuk Alung. Tentu saja saya langgar, karena saya mengikuti mobil ngeong-ngeong itu.
Kenapa disetop polisi? Si polisi dikabari lewat radio oleh polisi di atas voorrijder. Sopir di atas voorrijder dapat perintah dari sopir mobil pejabat. Maka disetoplah saya.
Setelah saya dilepas saya telepon atasan si sopir dan atasan di ajudan. “Perangainya anak buahmu,” kata saya.
Teman-teman wartawan juga menelepon si ajudan. Ia minta maaf.
“Besok-besok kalau mau ikut, telepon saya dulu,” kata si pejabat teman saya. Ha ha ha, gaya birokrat benar.
Sesampai di Bukittinggi, saya tak peduli lagi. Tak ada gunanya. Urusan dia banyak. Urusan saya juga banyak. Semua orang yang tadi tahu soal itu, sudah melupakannya.
Saya tidak. Bukan karena saya dendam atau sok hebat dan mentang-mentang. Tapi, karena sejak paruh kedua 1980-an sampai 2004, saya hampir tiap minggu pergi meliput ke daerah mengikuti gubernur Sumbar. Gubernur pakai voorrijder. Saya melihat, selalu saja ada mobil rakyat mengekor. Bahkan iring-iringan bisa menjadi panjang, karena di jalan banyak yang menempel. Sejauh itu tak pernah ada masalah. Tak dihambat polisi di jalan.
Pengalaman saya merupakan pertama dalam sejarah voorrijder di Sumbar. Mungkin.
Pelajaran yang dapat saya ambil, karena kehadiran voorrijder, banyak pengendara yang terkapereh. Ngeong-ngeong merampas hak pengguna jalan. Pengguna jalan juga tidak mengetahui privasi yang diberikan kepada sejumlah orang. Dianggapnya sama saja. Kalau ngeong-ngeong itu ambulans, pengendara tak peduli saja. Tapi kalau pemadam kebakaran, mereka takut.
Kesadaran berlalulintas sangat rendah, sehingga mengabaikan hal-hal yang patut diperhatikan.
Berikut, kalau mobil Anda dikawal voorrijder, lalu ada yang menumpang di belakang, janganlah marah, jika hanya karena Anda tidak mau terganggu privasinya. Kalau saya perturutkan kata hati saya, mungkin saya akan mengamuk. Tapi, saya pula yang akan ditertawakan orang. Bahkan dicibir.
“Kaolah, baa raso-e, sok-sok ebat, ditangkok polisi,” kata orang di belakang saya.
Oto ngeong-ngoeng, bisa bertemu di mana saja. Jika Anda jengkel, urut saja dadamu. Salah satu ciri penting di negeri ini adalah, bila jadi pejabat negara, maka mobil ngeong-ngoeng akan mengikuti Anda ke mana pergi. Misalnya, saat mengejar jadwal pesawat di BIM Ketaping.
Nah, jadilah pejabat. (*)
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Search
Popular Posts
-
Ini bukan untuk gagah-gagahan, tapi mencoba berkontribusi lebih banyak lagi bagi kepentingan umum. Apa itu? Forum Editor! Forum Editor a...
-
Khairul Jasmi Di Padang saat ini banyak benar jalan berlobang. Jika tak berlobang, aspalnya terkelupas. Kondisi jalan yang buruk menyebabk...
-
Saya naik pesawat Susi Air dari Simpang Empat ke BIM, begitu mendarat saya sudah ketinggalan siaran langsung pengumuman kabinet oleh Preside...
-
Di pinggang malam, karum jam naik, kami turun ke ruang pracetak. Di dada malam, mesin bergemuruh mencetak huruf demi huruf. Di rumahnya, re...
-
Besi tua, jejak sejarah, eksotik, unik, pabrik indah : indarung 1 Fotografer by : Yosfiandri
-
Ini lagu Minang, “Dikijoknyo Den,” lalu oleh Upiak Isil didendangkan dalam bahasa Indonesia, maka jadilah lagu itu, “Dikedipnya Aku.” Lagu ...
-
Di sebuah rumah minimalis, tinggal sebuah keluarga kecil. Papa, mama dan tiga anak. Anak-anaknya diajari berbahasa Indonesia sejak kecil. Di...
-
Forum pemred indonesia bersama menkeu Sri Mulyani. Saya menyampaikan Tax pasar semen yang mesti digejot, pestisida yang mahal karena impor, ...
-
Ini malam bainai, dipahat sambil main pedang. dari Batam terus ke Dumai, melihat Semen Padang.
Recent Posts
Categories
- Berita ( 2 )
- Jalan-jalan ( 5 )
- Komentar ( 33 )
- Opini ( 20 )
- Tulisan ( 21 )
- Wasit Garis ( 112 )
0 komentar :
Posting Komentar