On
4/03/2012 07:49:00 PM
by
Khairul Jasmi
in
Wasit Garis
No comments
Minyak. Negeri ini ribut dari ujung ke ujung karenanya. Semua lupa, minyak diciptakan Tuhan karena Ia sayang pada manusia.
Lantas kita berkelahi.
Banyak orang berkelahi karena tidak mendapat. Lebih banyak karena mendapat, tapi tak sama banyak. Sama banyak pun, acap juga membawa sengketa, karena satu sama lain menilai, tak seharusnya seperti itu. Mestinya banyak untuk saya.
Maka muncullah dinamika tidak sehat, saling rampas, saling rebut. Kadang laki orang diambil juga. Bini awak dilarikan entah oleh siapa. Muncullah tragedi. Pada level awal, pacar kita dijujai orang lain. Mengamuk tak jelas ujung pangkalnya.
Peluang kerja untuk kita, tapi karena tidak ada koneksi maka yang lulus orang lain. Mengurus e-KTP, seharusnya duluan, tapi antrean awak dipotong orang. Naik pesawat terbang, bisa juga begitu. Apalagi soal beras raskin dan bantuan gempa.
Nah yang paling ribut soal politik. Hiruk pikuk negeri dibuatnya. Lihatlah pekan lalu, keributan tak terhindarkan karena BBM. Tuhan membuat minyak bukan untuk diributkan, tapi untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya. Yang terjadi justru pertengkaran hebat sejak dulu sampai sekarang. Mulai dari Timur Tengah menjalar ke seluruh dunia. BBM merupakan pemicu paling ampuh.
Jangan-jangan BBM merupakan kutukan pada manusia. Jangan-jangan…
BBM sejatinya untuk kesejahteraan, bukan untuk melukai hati dan perasaan, bukan untuk menghina dan menistakan orang lain.
Bukan untuk dijadikan alat politik. Jika Tuhan mengisap semua minyak di perut bumi seketika ini, maka alangkah malangnya manusia. Apa akal kita lagi?
Kufur nikmat, tidak pandai mem pergunakan rahmat yang diberikan Tuhan.
Saya teringat almarhumah nenek di kampung. Ia nyalakan api di tungku dengan kayu bakar, dengan meneteskan sedikit minyak tanah. Ia nyalakan lampu togok dengan minyak tanah. Ia jadikan minyak itu sebagai obat juga.
Nenek membelinya ke warung seliter dua liter atau sebotol kaca. Ia simpan baik-baik. Kalau satu ketika talendo oleh saya botol itu dan minyaknya tumpah, nenek akan marah. “Lai pandai ang mambuek minyak tu,” katanya.
Pekan lalu kita menyaksikan berhari-hari ratusan ribu orang marah karena minyak. Tidak satupun ada kalimat pujian atas kebesaran Tuhan. Kita lupa.
Kita sibuk bertengkar mencaci maki presiden sendiri. Mahasiswa lupa dengan orang lain. Tampil seolah-olah merekalah yang hebat dan di tangannya nasib bangsa ini.
Negeri kita sobek oleh suara anak-anaknya, terbakar oleh tingkah generasinya. Lantas ada yang bersorak riang. Ada yang sedih, ada yang pura-pura tidak tahu.
Kedewasaan kita habis sudah, luruh oleh emosi. Hanyut dalam sungai kedengkian. Kita memperalat nikmat Tuhan untuk tujuan-tujuan sesaat.
Nenek saya, suatu ketika, kehabisan minyak tanah. Ia bergegas turun mencari daun kelapa kering. Ia bakar, kemudian dihembus-hembusnya lantas dimasukkan ke dalam tungku. Ia pelihara api itu hingga memakan kayu bakar.
Saya teringat semua itu, ketika orang berteriak lantang tentang BBM.
Kita nyaris kehilangan kesadaran atas hal-hal kecil tentang diri sendiri. (*)
Lantas kita berkelahi.
Banyak orang berkelahi karena tidak mendapat. Lebih banyak karena mendapat, tapi tak sama banyak. Sama banyak pun, acap juga membawa sengketa, karena satu sama lain menilai, tak seharusnya seperti itu. Mestinya banyak untuk saya.
Maka muncullah dinamika tidak sehat, saling rampas, saling rebut. Kadang laki orang diambil juga. Bini awak dilarikan entah oleh siapa. Muncullah tragedi. Pada level awal, pacar kita dijujai orang lain. Mengamuk tak jelas ujung pangkalnya.
Peluang kerja untuk kita, tapi karena tidak ada koneksi maka yang lulus orang lain. Mengurus e-KTP, seharusnya duluan, tapi antrean awak dipotong orang. Naik pesawat terbang, bisa juga begitu. Apalagi soal beras raskin dan bantuan gempa.
Nah yang paling ribut soal politik. Hiruk pikuk negeri dibuatnya. Lihatlah pekan lalu, keributan tak terhindarkan karena BBM. Tuhan membuat minyak bukan untuk diributkan, tapi untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya. Yang terjadi justru pertengkaran hebat sejak dulu sampai sekarang. Mulai dari Timur Tengah menjalar ke seluruh dunia. BBM merupakan pemicu paling ampuh.
Jangan-jangan BBM merupakan kutukan pada manusia. Jangan-jangan…
BBM sejatinya untuk kesejahteraan, bukan untuk melukai hati dan perasaan, bukan untuk menghina dan menistakan orang lain.
Bukan untuk dijadikan alat politik. Jika Tuhan mengisap semua minyak di perut bumi seketika ini, maka alangkah malangnya manusia. Apa akal kita lagi?
Kufur nikmat, tidak pandai mem pergunakan rahmat yang diberikan Tuhan.
Saya teringat almarhumah nenek di kampung. Ia nyalakan api di tungku dengan kayu bakar, dengan meneteskan sedikit minyak tanah. Ia nyalakan lampu togok dengan minyak tanah. Ia jadikan minyak itu sebagai obat juga.
Nenek membelinya ke warung seliter dua liter atau sebotol kaca. Ia simpan baik-baik. Kalau satu ketika talendo oleh saya botol itu dan minyaknya tumpah, nenek akan marah. “Lai pandai ang mambuek minyak tu,” katanya.
Pekan lalu kita menyaksikan berhari-hari ratusan ribu orang marah karena minyak. Tidak satupun ada kalimat pujian atas kebesaran Tuhan. Kita lupa.
Kita sibuk bertengkar mencaci maki presiden sendiri. Mahasiswa lupa dengan orang lain. Tampil seolah-olah merekalah yang hebat dan di tangannya nasib bangsa ini.
Negeri kita sobek oleh suara anak-anaknya, terbakar oleh tingkah generasinya. Lantas ada yang bersorak riang. Ada yang sedih, ada yang pura-pura tidak tahu.
Kedewasaan kita habis sudah, luruh oleh emosi. Hanyut dalam sungai kedengkian. Kita memperalat nikmat Tuhan untuk tujuan-tujuan sesaat.
Nenek saya, suatu ketika, kehabisan minyak tanah. Ia bergegas turun mencari daun kelapa kering. Ia bakar, kemudian dihembus-hembusnya lantas dimasukkan ke dalam tungku. Ia pelihara api itu hingga memakan kayu bakar.
Saya teringat semua itu, ketika orang berteriak lantang tentang BBM.
Kita nyaris kehilangan kesadaran atas hal-hal kecil tentang diri sendiri. (*)
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Search
Popular Posts
-
Di pinggang malam, karum jam naik, kami turun ke ruang pracetak. Di dada malam, mesin bergemuruh mencetak huruf demi huruf. Di rumahnya, re...
-
Ini lagu Minang, “Dikijoknyo Den,” lalu oleh Upiak Isil didendangkan dalam bahasa Indonesia, maka jadilah lagu itu, “Dikedipnya Aku.” Lagu ...
-
Untuk sebuah keperluan, bebe- rapa hari lalu saya tampil dengan pakaian sipil lengkap (PSL). Hari-hari sebelumnya saya sudah biasa memakai ...
-
Ini bukan untuk gagah-gagahan, tapi mencoba berkontribusi lebih banyak lagi bagi kepentingan umum. Apa itu? Forum Editor! Forum Editor a...
-
Sebuah bank, memasang spanduk di kompleks perumahan saya di Kuranji, Padang. Isinya ajakan agar kami memindahkan kredit kepemilikan rumah (K...
-
Prof Jan Romain pada tahun 1953 menulis sebuah buku — sebenarnya materi perkuliahannya di Universitas Gadjah Mada — berjudul “Aera Eropa.” ...
-
Ini malam bainai, dipahat sambil main pedang. dari Batam terus ke Dumai, melihat Semen Padang.
-
HAWAII – Saya di Honolulu, Hawaii sekarang. Sejak berangkat Senin (6/4) sudah dilewati siang dan malam, sesampai di sini malah masih Senin...
-
Malam sebentar lagi larut, tapi Payakumbuh semakin ramai. Sepanjang jalan nan lurus pedagang kaki lima berderet rapi. Cahaya lampu dari gero...

Categories
- Berita ( 2 )
- Jalan-jalan ( 5 )
- Komentar ( 33 )
- Opini ( 20 )
- Tulisan ( 21 )
- Wasit Garis ( 112 )

0 komentar :
Posting Komentar