On
10/25/2014 03:45:00 AM
by
Unknown
in
Komentar
No comments
“Paspornya Ncik,” kata petugas hotel kepada saya di Bandung ketika menginap di sana untuk acara Forum Pemred.
“Saya dari Sumatera,” petugas hotel tersenyum mendengar jawaban itu. Ia kira tamunya dari Kuala Lumpur, karena menurut dia, logat Sumatera mirip-mirip dengan Malaysia. Sebenarnya bukan karena itu, tapi pengunjung utama Bandung saat ini memang dari Malaysia.
Saya menemani kawan membeli celana levis, lagi-lagi petugas di sana bertanya apakah akan membayar dengan rupah atau ringgit. “Dengan ringgit Ncik?”
Saya teringat Bukittinggi, kota idaman itu. Sekarang sudah tak banyak lagi pengunjung dari Malaysia yang datang ke sana. Yang banyak, orang Sumbar berobat ke Melaka. Guru-guru atau kelompok tertentu berdamawisata ke Singapura, Malaysia terus ke Thailand Selatan via Batam.
Apa yang sudah lalai kita lakukan selama ini? Tentu tiap orang bisa menggurui orang lain. Namun menurut kesimpulan sementara, Sumatera Barat tidak serius mengelola wisatanya. Semua mau digarap tapi tak satupun yang selesai. Hal elementer saja, soal pelayanan dan kebersihan, belum beres-beres sampai sekarang. Pelaku wisata, sesak menahan hati melihat keadaan yang ada. Mata pencarian mereka di sana, tapi tak bersesuaian saja dengan apa yang dilakukan pemerintah.
Promosi misalnya, mana yang lebih bagus pejabat-pejabat pariwisata kita yang pergi ke luar negeri, agency dan pers di sana yang diundang ke sini? Di dalam negeri juga begitu. Orang Bali misalnya, pasti ingin berwisata pula seperti kita, begitu juga warga di Pulau Jawa, kemana mereka akan pergi? Salah satu pilihannya tentu bisa Sumatera Barat, kenapa tidak diundang pers di sana untuk berkunjung ke sini. Wartawan pasti akan menulis di korannya sesampai di daerahnya. Apa bedanya dengan wartawan di sini. Saya kira ini lebih bagus.
Saya pernah menerima keluhan duta besar Indonesia untuk Prancis di Paris beberapa tahun silam. Ia telah mengirim rombongan untuk melihat-lihat keindahan pulau-pulau di Padang, termasuk kota tua. Sayang, tamu itu, kata Pak Dubes, tidak dilayani dengan baik dan mereka amat kecewa. Dubes juga kecewa. Karena kecewa itu, ia meminta kami berkunjung ke kota tua di pinggiran Paris. “Itu bisa dicontoh untuk Padang, supaya walikotanya tahu, “ katanya.
Saya juga pernah ke Vietnam, tak menyangka wisatanya begitu maju. Pelayanan sangat prima apalagi kalau berkunjung ke Ha Long Bay, teluk yang amat indah itu. Di sini ada kawasan Mandeh dan lainnya yang bisa digarap sedemikian rupa.
Kata seorang pejabat kepada saya, “urang awak ko munafik”. Kita tentu tahu apa maksudnya. Saya agak bingung sebenarnya, apa benar kita munafik, jangan-jangan kita jujur pada kebimbangan dalam menyikapi hal-hal baru.
“Encik, telepon bimbitnya, tertinggal,” kata orang Bandung kepada saya habis minum kopi. Lagi-lagi saya dikira orang malaysia. Rupanya sekeliling saya orang Malaysia semua.
“Oh iya, saya nak ke tandas sekejap,” saya jawab saja lagi dengan bahasa Melayu.
Saya rindu turis Malaysia berlalu lalang lagi di Bukittinggi. Kalau di Padang? Masih jauh panggang dari api. (*)
“Saya dari Sumatera,” petugas hotel tersenyum mendengar jawaban itu. Ia kira tamunya dari Kuala Lumpur, karena menurut dia, logat Sumatera mirip-mirip dengan Malaysia. Sebenarnya bukan karena itu, tapi pengunjung utama Bandung saat ini memang dari Malaysia.
Saya menemani kawan membeli celana levis, lagi-lagi petugas di sana bertanya apakah akan membayar dengan rupah atau ringgit. “Dengan ringgit Ncik?”
Saya teringat Bukittinggi, kota idaman itu. Sekarang sudah tak banyak lagi pengunjung dari Malaysia yang datang ke sana. Yang banyak, orang Sumbar berobat ke Melaka. Guru-guru atau kelompok tertentu berdamawisata ke Singapura, Malaysia terus ke Thailand Selatan via Batam.
Apa yang sudah lalai kita lakukan selama ini? Tentu tiap orang bisa menggurui orang lain. Namun menurut kesimpulan sementara, Sumatera Barat tidak serius mengelola wisatanya. Semua mau digarap tapi tak satupun yang selesai. Hal elementer saja, soal pelayanan dan kebersihan, belum beres-beres sampai sekarang. Pelaku wisata, sesak menahan hati melihat keadaan yang ada. Mata pencarian mereka di sana, tapi tak bersesuaian saja dengan apa yang dilakukan pemerintah.
Promosi misalnya, mana yang lebih bagus pejabat-pejabat pariwisata kita yang pergi ke luar negeri, agency dan pers di sana yang diundang ke sini? Di dalam negeri juga begitu. Orang Bali misalnya, pasti ingin berwisata pula seperti kita, begitu juga warga di Pulau Jawa, kemana mereka akan pergi? Salah satu pilihannya tentu bisa Sumatera Barat, kenapa tidak diundang pers di sana untuk berkunjung ke sini. Wartawan pasti akan menulis di korannya sesampai di daerahnya. Apa bedanya dengan wartawan di sini. Saya kira ini lebih bagus.
Saya pernah menerima keluhan duta besar Indonesia untuk Prancis di Paris beberapa tahun silam. Ia telah mengirim rombongan untuk melihat-lihat keindahan pulau-pulau di Padang, termasuk kota tua. Sayang, tamu itu, kata Pak Dubes, tidak dilayani dengan baik dan mereka amat kecewa. Dubes juga kecewa. Karena kecewa itu, ia meminta kami berkunjung ke kota tua di pinggiran Paris. “Itu bisa dicontoh untuk Padang, supaya walikotanya tahu, “ katanya.
Saya juga pernah ke Vietnam, tak menyangka wisatanya begitu maju. Pelayanan sangat prima apalagi kalau berkunjung ke Ha Long Bay, teluk yang amat indah itu. Di sini ada kawasan Mandeh dan lainnya yang bisa digarap sedemikian rupa.
Kata seorang pejabat kepada saya, “urang awak ko munafik”. Kita tentu tahu apa maksudnya. Saya agak bingung sebenarnya, apa benar kita munafik, jangan-jangan kita jujur pada kebimbangan dalam menyikapi hal-hal baru.
“Encik, telepon bimbitnya, tertinggal,” kata orang Bandung kepada saya habis minum kopi. Lagi-lagi saya dikira orang malaysia. Rupanya sekeliling saya orang Malaysia semua.
“Oh iya, saya nak ke tandas sekejap,” saya jawab saja lagi dengan bahasa Melayu.
Saya rindu turis Malaysia berlalu lalang lagi di Bukittinggi. Kalau di Padang? Masih jauh panggang dari api. (*)
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Search
Popular Posts
-
Ini bukan untuk gagah-gagahan, tapi mencoba berkontribusi lebih banyak lagi bagi kepentingan umum. Apa itu? Forum Editor! Forum Editor a...
-
Khairul Jasmi Di Padang saat ini banyak benar jalan berlobang. Jika tak berlobang, aspalnya terkelupas. Kondisi jalan yang buruk menyebabk...
-
Saya naik pesawat Susi Air dari Simpang Empat ke BIM, begitu mendarat saya sudah ketinggalan siaran langsung pengumuman kabinet oleh Preside...
-
Di pinggang malam, karum jam naik, kami turun ke ruang pracetak. Di dada malam, mesin bergemuruh mencetak huruf demi huruf. Di rumahnya, re...
-
Besi tua, jejak sejarah, eksotik, unik, pabrik indah : indarung 1 Fotografer by : Yosfiandri
-
Ini lagu Minang, “Dikijoknyo Den,” lalu oleh Upiak Isil didendangkan dalam bahasa Indonesia, maka jadilah lagu itu, “Dikedipnya Aku.” Lagu ...
-
Di sebuah rumah minimalis, tinggal sebuah keluarga kecil. Papa, mama dan tiga anak. Anak-anaknya diajari berbahasa Indonesia sejak kecil. Di...
-
Forum pemred indonesia bersama menkeu Sri Mulyani. Saya menyampaikan Tax pasar semen yang mesti digejot, pestisida yang mahal karena impor, ...
-
Ini malam bainai, dipahat sambil main pedang. dari Batam terus ke Dumai, melihat Semen Padang.
Recent Posts
Categories
- Berita ( 2 )
- Jalan-jalan ( 5 )
- Komentar ( 33 )
- Opini ( 20 )
- Tulisan ( 21 )
- Wasit Garis ( 112 )
0 komentar :
Posting Komentar