Teman saya, seorang guru yang sudah berdiri di depan kelas puluhan tahun, bertutur: Anak sekarang cium tangannya sangat santun, seolah-olah kita sedang berada di pintu surga, tapi isi sms sesamanya, seolah-olah sedang berada di diskotik.
Katanya lagi, anak sekarang kalau menyapa ibu guru, suaranya meliuk seperti suara Iyet Bustami sedang mendendangkan, “laksamana raja di laut”, persis pada kata “laut”.
Padahal waktu si guru jadi murid dulu, ia menyapa ibu gurunya dengan mengangguk takzim.
Saya bukan guru, tapi teman saya banyak yang guru. Sebagian jiwa saya adalah guru. Mendengar penjelasan teman itu, saya sering menemukan contoh-contohnya dalam keseharian.
Ada beberapa sikap tak baik dalam menyimak tingkah laku anak: Pertama orangtua cenderung membela habis-habisan perangai anaknya. Kedua, masyarakat cenderung menghukum.
Sikap yang di tengah-tengah: Berusaha memahami, sembari mencoba memperbaiki.
Sikap antipati: Suko ati kalianlah, baelah bara talok.
Kenapa sikap remaja dulu dan sekarang berbeda? Karena zaman juga sudah berbeda. Rasa-rasanya elok zaman dulu dibanding sekarang. Tapi tidak juga.
Seingat saya, tak banyak anak-anak zaman dulu yang cium tangan, baik pada orangtua atau pada guru atau pada orang dewasa. Yang wanita, dulu tak banyak pakai jilbab. Kini, jilbab sansai saja sepanjang jalan.
Tapi dulu tak ada tari telanjang, kini ada. Dulu kita tak tahu, kita ketahuan.
Anak sekarang kerjanya pacaran saja. Kata siapa? Kata orang yang muak. Doeloe? Ha ha ha, hampir semua cerita randai adalah soal kisah cinta.
Dulu bini orang banyak. Kini hanya satu, tapi suka selingkuh.
Membanding-bandingkan masa lampau dan sekarang secara serampangan, tidak akan membuahkan hasil.
Kembali pada si guru, teman saya itu. Ia cemas, karena karakter anak didik sekarang tidak kokoh. Etika kurang, moral amburadul. Kalau ini, mulai serius. Menurut dia, sekolah, sebagaimana namanya seharusnya juga bekerja untuk moral dan etika.
Tapi apa hendak dikata, masuk pagi, pulang berebut senja. Kapan anak bisa bermain. Maka bermainlah ia lewat SMS dan facebook di malam hari. Waktu bermain anak dirampas secara serampangan oleh kurikulum. Kita membiarkannya.
Anak-anak dijadikan robot, harus masuk IPA harus masuk kelas internasional, harus bisa ini dan bisa itu. Dengan demikian harus les ini dan itu.
Gila!
“Yang gila orangtua mereka,” kata teman saya itu.
Teman saya kemudian merentak pergi meninggalkan saya.
“Antahlah yuang, jadi guru juolah,” kata saya. Langkahnya tertahan, remnya pakam. Lalu berbalik dan berucap sambil tertawa.
“Itu gunanya kita masuk sekolah guru, untuk jadi guru, kemudian terima uang sertifikasi,” katanya sambil menyebut gajinya terakhir.
Besok pagi ia kembali ke sekolah dan akan dicium punggung tangannya oleh para siswa. Ia tahu, mana anak-anaknya yang berkirim SMS gadis dan bujang dengan sebutan “papa-mama” atau “ayah dan bunda”.
“Ditirunyo di rumah tu mah,” kata saya.
“Kadang seperti di sinetron, sensa kami dek anak-anak kini,” kata dia.
Jadi guru jugalah kau. (*)
terbit di hariansinggalang
Katanya lagi, anak sekarang kalau menyapa ibu guru, suaranya meliuk seperti suara Iyet Bustami sedang mendendangkan, “laksamana raja di laut”, persis pada kata “laut”.
Padahal waktu si guru jadi murid dulu, ia menyapa ibu gurunya dengan mengangguk takzim.
Saya bukan guru, tapi teman saya banyak yang guru. Sebagian jiwa saya adalah guru. Mendengar penjelasan teman itu, saya sering menemukan contoh-contohnya dalam keseharian.
Ada beberapa sikap tak baik dalam menyimak tingkah laku anak: Pertama orangtua cenderung membela habis-habisan perangai anaknya. Kedua, masyarakat cenderung menghukum.
Sikap yang di tengah-tengah: Berusaha memahami, sembari mencoba memperbaiki.
Sikap antipati: Suko ati kalianlah, baelah bara talok.
Kenapa sikap remaja dulu dan sekarang berbeda? Karena zaman juga sudah berbeda. Rasa-rasanya elok zaman dulu dibanding sekarang. Tapi tidak juga.
Seingat saya, tak banyak anak-anak zaman dulu yang cium tangan, baik pada orangtua atau pada guru atau pada orang dewasa. Yang wanita, dulu tak banyak pakai jilbab. Kini, jilbab sansai saja sepanjang jalan.
Tapi dulu tak ada tari telanjang, kini ada. Dulu kita tak tahu, kita ketahuan.
Anak sekarang kerjanya pacaran saja. Kata siapa? Kata orang yang muak. Doeloe? Ha ha ha, hampir semua cerita randai adalah soal kisah cinta.
Dulu bini orang banyak. Kini hanya satu, tapi suka selingkuh.
Membanding-bandingkan masa lampau dan sekarang secara serampangan, tidak akan membuahkan hasil.
Kembali pada si guru, teman saya itu. Ia cemas, karena karakter anak didik sekarang tidak kokoh. Etika kurang, moral amburadul. Kalau ini, mulai serius. Menurut dia, sekolah, sebagaimana namanya seharusnya juga bekerja untuk moral dan etika.
Tapi apa hendak dikata, masuk pagi, pulang berebut senja. Kapan anak bisa bermain. Maka bermainlah ia lewat SMS dan facebook di malam hari. Waktu bermain anak dirampas secara serampangan oleh kurikulum. Kita membiarkannya.
Anak-anak dijadikan robot, harus masuk IPA harus masuk kelas internasional, harus bisa ini dan bisa itu. Dengan demikian harus les ini dan itu.
Gila!
“Yang gila orangtua mereka,” kata teman saya itu.
Teman saya kemudian merentak pergi meninggalkan saya.
“Antahlah yuang, jadi guru juolah,” kata saya. Langkahnya tertahan, remnya pakam. Lalu berbalik dan berucap sambil tertawa.
“Itu gunanya kita masuk sekolah guru, untuk jadi guru, kemudian terima uang sertifikasi,” katanya sambil menyebut gajinya terakhir.
Besok pagi ia kembali ke sekolah dan akan dicium punggung tangannya oleh para siswa. Ia tahu, mana anak-anaknya yang berkirim SMS gadis dan bujang dengan sebutan “papa-mama” atau “ayah dan bunda”.
“Ditirunyo di rumah tu mah,” kata saya.
“Kadang seperti di sinetron, sensa kami dek anak-anak kini,” kata dia.
Jadi guru jugalah kau. (*)
terbit di hariansinggalang
On
11/02/2014 02:16:00 AM
by
Unknown
in
Wasit Garis
No comments
Saya naik pesawat Susi Air dari Simpang Empat ke BIM, begitu mendarat saya sudah ketinggalan siaran langsung pengumuman kabinet oleh Presiden Jokowi. Tak tahunya pemilik pesawat itu, Susi Pudjiastuti dipercaya menjadi menteri. Bangga pertama saya pada Menteri Luar Negeri, Retno Lestari Priansari Mar
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
Search
Popular Posts
-
Di pinggang malam, karum jam naik, kami turun ke ruang pracetak. Di dada malam, mesin bergemuruh mencetak huruf demi huruf. Di rumahnya, re...
-
Ini bukan untuk gagah-gagahan, tapi mencoba berkontribusi lebih banyak lagi bagi kepentingan umum. Apa itu? Forum Editor! Forum Editor a...
-
HAWAII – Saya di Honolulu, Hawaii sekarang. Sejak berangkat Senin (6/4) sudah dilewati siang dan malam, sesampai di sini malah masih Senin...
-
Ini lagu Minang, “Dikijoknyo Den,” lalu oleh Upiak Isil didendangkan dalam bahasa Indonesia, maka jadilah lagu itu, “Dikedipnya Aku.” Lagu ...
-
Besi tua, jejak sejarah, eksotik, unik, pabrik indah : indarung 1 Fotografer by : Yosfiandri
-
Malam sebentar lagi larut, tapi Payakumbuh semakin ramai. Sepanjang jalan nan lurus pedagang kaki lima berderet rapi. Cahaya lampu dari gero...
-
Khairul Jasmi ”Georgia,” anak saya, Jombang Santani Khairen menjawab dengan tangkas, tatkala pembawa acara di RCTI Tamara Geraldine mengaj...
-
Prof Jan Romain pada tahun 1953 menulis sebuah buku — sebenarnya materi perkuliahannya di Universitas Gadjah Mada — berjudul “Aera Eropa.” ...
-
Sarawa hawaii adalah celana pendek selutut atau di atasnya lagi, pakai kajai di pinggangnya. Ciri khasnya warna-warni. Tak saya temukan k...
-
Saya menyaksikan beberapa hal tentang ‘malu-malu’ dalam rentang waktu yang terpaut jauh. Pertama, doeloe, wanita malu-malu memakai jilbab, k...
Recent Posts
Categories
- Berita ( 2 )
- Jalan-jalan ( 5 )
- Komentar ( 33 )
- Opini ( 20 )
- Tulisan ( 21 )
- Wasit Garis ( 112 )